Kamis, 03 Maret 2016

bangga jadi aktifis dakwah kampus Unit kegiatan kerohanian islam Unesa


pengertian dan hakekat rehabilitasi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Salah satu fungsi kesejahteraan sosial ialah fungsi rehabilitative, antara lain bagi penyandang kelainan. Salah satu bentuk usaha kesejahteraan sosial bagi penyandang kelainan ialah pelayanan program rehabilitasi. Secara khusus rehabilitasi merupakan proses perbaiakan ditujukan kepada penderita cacat atau anak luar biasa, agar mereka cakap berbuat untuk memiliki semaksimal mungkin kegunaan baik jasmani, rohani, sosial, pekerjaan dan ekonomi.
Dengan demikian pada dasarnya rehabilitasi seantiasa memberikan perhatian kepada keberadaan manusia, nasibnya, hak-haknyadan kewajibannya atau tanggung jawab terhadap sesame manusia.
Rehabilitasi merupakan suatu pendekatan total yang komprehenshif dengan tujuan memfungsikan kembali supaya klien dapat berguna. Pendekatan komprehenshif adalah rehabilitasi yang tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, tetapi memerlukan bantuan dari phak lain. Dengan kata lain rehabilitasi merupakan program multidisipliner.
Pelayanan pendidikan merupakan bagian dari program rehabilitasi. Karena keduanya tidak dapat dipisahkan, mengingat pelayanan atau penanganan anak luar biasa tidak dapat dilakuakan oleh satu disiplin ilmu, melainkan oleh berbagai disiplin ilmu yang terkait. Maka program rehabilitasi bagi anak luar biasa, bukan merupakan program rehabilitasi yang sama sekali terpisah dari program pelayanan pendidikan luar biasa.
Keberhasilan pelayanan program rehabilitasi penderita cacat atau anak luar baisa ini kecuali meningkatkan pelayanan pada panti-panti rehabilitasi yang sudah ada, juga perlu ditempuh pemberian pelayanan melalui sistem non panti (non-institusional). Untuk keberhasilan pelayanan rhabilitasi dengan sistem non-institusional ini sebagaimana juga keberhasilan yang ditempuh melalui sistem institusional, dimana koordinasi anatara disiplin ilmu yang terkait dengan pelaksanaan rehabilitasi penderita cacat atau anak luar biasa perlu diwujudkan sesuai dengan tugasnya masing-masing.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah perkembangan gerakan rehabilitasi ?
2.      Bagaimana pengertian rehabilitasi secara umum dan khusus ?
3.      Bagaimana pengertian hakekat rehabilitasi ?
4.      Faktor apa sajakah yang mempengaruhi kegagalan program rehabilitasi ?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan gerakan rehabilitasi
2.      Untuk mengetahui pengertian rehabilitasi secara umum dan khusus
3.      Untuk mengetahui pengertian hakekat rehabilitasi
4.      Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan program rehabilitasi



BAB II

PEMBAHASAN


2.1 Sejarah Perkembangan gerakan rehabilitasi

            Gerakan rehabilitasi menampakkan wujud seiring dengan perubahan perilaku atau sikap terhadap penderita kelainan fisik, mental, sosial maupun emosional. Sikap dan perilaku terhadap penyandang kelaian bergerak dari sikap yang didasari atas pandangan yang dihubungkan dengan superstisi dan pemujaan terhadap kesempurnaan, kearah sikap atau perilaku yang dilandasi oleh pandangan yang berasal pada segi medis dan akhirnya terjadi perubahan sikap dan perlakuan yang sifatnya humanistis dan ekologis.
            Pada abad ke 18 pendekatan secara medis terhadap penderita kelainan mulai berkembang. Penyebab terjadinya kelianan dikaitkan dengan faktor-faktor fisisk-biologis. Dengan berkembangannya  pendekatan medis terhadap kelainan, mulai konsep rehabilitasi muncul.
            Goldenson (1978:6) menggambarkan perkembangan gerakan rehabilitasi. Pada tahun 1889 di Amerika didirikan Cleveland Rehabilitation Center dan Boston Individual School untuk anak-anak cacat tubuh pada tahun 1893. Di pusat rehabilitasi ini di berikan latihan kerja dan layanan medis.
Diabad 18 dan 19 kemajuan gerakan rehabilitasi semakin pesat dengan dukungan dari berbagai ahli yang menaruh perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan anak luar biasa. Dalam sejarah perkembangan pendidikan anak luar biasa di kenal tokoh-tokoh seperti Samuel Gridley Howe, Thomas Hopkins Gallauder, Louis Braille.
Pada awalnya konsep rehabilitasi hanya ditekankan pada rehabilitasi meddis dan rehabilitasi vokasional. Sejak perang dunia kedua sampai saat ini, konsep rehabilitasi menjadi semakin luas. Konsep rehabilitasi yang pada semulanya ditekankan pada rehabilitasi medis dan vokasional, sekrang meliputi semua jenis kelianan. Tokoh-tokoh perluasan konsep rehabilitasi di Amerika antara lain adalah Dr. Howard Rusk, Mary E Switsen dan Dr. Henry Kessler. Dengan demikian luasnya konsep rehabilitasi, maka tanggung jawab terhadap pelayanan penyandang kelianan bukan hanya terletak pada segi medis saja tetapi menjadi tanggung jawab masyarakat.
Di Indonesia pada tahun 1964, tepatnya di Surakarta berdiri pusat rehabilitasi yang dipelopori oleh Dr. Suharso yang sekarang lebih dikenal dengan nama rumah sakit Dr. Suharto, selanjutnya berkembang dengan mendirikan YPAC.
Goldenson (1978:8) menyatakan bahwa dengan semakin luasnya pengertian rehabilitasi, rehabilitasi sekarang merupakan suatu proses yang dinamis dan holistic, berdasarkan pemikiran yang comprehensive dan kontinu terhadap tiap-tiap indiviidu penyandang kelainan, menyangkut kebutuhan-kebutuhannya yang spesifik. Dengan demikian paling tidak rehabilitasi mencakup empat jenis yang saling berkaitan, yaitu rehabilitasi fisik/medis, rehabilitasi vokasional, rehabilitasi sosial dan rehabilitasi psikologi.
           
2.2 Pengertian Rehabilitasi

Rehabilitasi berasal dari kata yaitu re yang berarti kembali dan habilitasi yang berarti kemampuan.Rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan.
Namun kita sering mendengar perkataan rehabilitasi, secara umum diartikan sebagai pembetulan, perbaikan, pengembalian, kepada sesuatu yang lebih baik.Seperti misalnya kita mendengar orang berbicara "jembatan itu sedang di rehabilitasi", kita langsung mengerti bahwa jembatan tersebut sedang di perbaiki.Kalau demikian pengertian rehabilitasi adalah perbaikan, artinya jembatan itu tadinya berfungsi, karena suatu hal jembatan itu rusak atau tidak berfungsi, maka dengan di rehabilitasi jembatan tersebut berfungsi kembali.Hal ini kalau kita lihat pengertian rehabilitasi secara umum.
Secara khusus lagi ada yang mengartikan rehabilitasi adalah proses perbaikan ditujukan pada penderita cacat agar mereka cakap berbuat untuk memiliki seoptimal mungkin kegunaan jasmani, rohani, sosial, pekerjaan, dan ekonomi.
Sebagai contoh misalnya, seseorang karena suatu hal (kecelakaan), terpaksa kakinya harus di amputasi (dipotong), agar ia dapat berjalan kembali, ia harus mengikuti program rehabilitasi, antara lain latihan berjalan menggunakan kaki palsu. Jadi pengertian rehabilitasi di sini adalah pengembalian fungsi semula, karena tadinya orang itu dapat berjalan dengan baik karena suatu hal ia tidak dapat berjalan, dengan rehabilitasi orang tersebut dapat berjalan kembali.
Untuk lebih jelasnya, kita lihat pengertian rehabilitasi yang di kemukakan oleh para ahli. Kurt Janson seorang social worker yang terkenal, didalam seminar rehabilitasi penderita cacat se Asia dan Timur Jauh di Solo tahun 1977 yang dikutip oleh Suroyo mengemukakan, bahwa rehabilitasi biasanya dibatasi sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada penderita cacat untuk mencapai sepenuh-penuhnya tingkat penyesuaian ekonomi dan kegunaan menurut kemampuannya.
Menurut Soewito (Sri Widati 1984 : 5) salah seorang ahli rehabilitasi di RC Surakarta mengatakan :
Rehabilitasi penderita cacat merupakan segala daya upaya, baik dalam bidang kesehatan, sosial, kejiwaan, pendidikan, ekonomi, maupun bidang lain yang dikoordinir menjadi continuous process, dan yang bertujuan untuk memulihkan tenang penderita cacat baik jasmaniah maupun rohaniah, untuk menduduki kembali tempat di masyarakat sebagai anggota penuh yang swasembada, produktif dan berguna bagi masyarakat dan negara.
            Departemen sosial memberikan pengertian sebagai berikut, rehabilitasi adalah proses refungsionalisai dan pengembangan untuk memungkinkan penderita cacat mampu melakukan fungsi-fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
Dari pengertian-pengertian tersebut diatas dapat diambil kesimpulan mengenai pengertian rehabilitasi adalah sebagai berikut :
Pertamadalam arti umum rehabilitasi adalah "pemulihan-pemulihan kembali" jadi, rehabilitasi mengembalikan sesuatu kepada keadaan semula yang tadinya dalam keadaan baik, tetapi karena sesuatu hal kemudian menjadi tidak berfungsi atau rusak.
Kedua apabila diartikan dengan disability pengertiannya adalah pengembalian orang-orang cacat kepada kegunaan secara maksimal baik dalam aspek fisik, mental, personal, sosial, vocational, serta ekonomi sesuai dengan kemampuannya.
Ketiga diperlukan koordinasi dari berbagai bidang usaha itu menjadi suatu proses yang berhubungan erat satu dengan yang lain, yang merupakan team work menuju kearah tujuan akhir.
Keempat rehabilitasi dipergunakan secara luas, mencakup habilitasi yang diartikan sebagai suatu usaha untuk membantu mereka yang mengalami kelainan sejak lahir atau pada masa kanak-kanak.
Terdapat berbagai macam definisi mengenai rehabilitasi dalam peraturan perundang- undangan yaitu : Pasal 1 angka 14 Undang undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang memberikan pengertian bahwa :
“Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.”
Rehabilitasi diberikan agar tercapainya pemulihan yang sempurna bagi diri korban yang mengalami kekerasan seksual dan menurut pasal 35 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia  Nomor 40 tahun 2011 tentang Pembinaan, Pendampingan, danPemulihan Terhadap Anak yang menjadi Korban atau Pelaku Pornografi, Rehabilitasi Sosial diberikan dalam bentuk :
1.      Motivasi dan diagnosis psikososial
2.      Perawatan dan pengasuhan
3.      Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan
4.      Bimbingan mental spiritual
5.      Bimbingan fisik
6.      Bimbingan sosial dan konseling psikososial
7.      Pelayanan aksesibilitas
8.      Bantuan dan asistensisosial
9.      Bimbingan resosialisasi
10.  Bimbingan lanjut
11.  Rujukan

2.3  Pengertian Hakekat Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah suatu proses, produk, atau program yang sengaja disusun agar orang – orang atau anak – anak yang cacat dapat mengembangkan potensinya seoptimal mungkin atau dapat mefungsikan potensinya seoptimal mungkin atau dapai mefungsikan potensi yang ia miliki sehingga dapat mencapai pribadi  lahir dan batin.
Dengan demikian pada hakekatnya rehabilitasi merupakan pendekatan total, yang merupakan suatu pendekatan komprehansip, kesemuanya yang bertujuan membentuk individu yang utuh dalam aspek fisik, mental, emosional dan sosial agar ia dapat berguna. Jadi rehabilitasi itu bukan merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh para ahli untuk para penyandang cacat, tetapi harus penderita sendirilah yang harus berusaha untuk melakkan prosedur yang telah ditetapkan, sehingga ia dapat merubah dirinya sendiri menjadi manusia yang mandiri.
Sebaik apapun program rehabilitasi  yang diusahakan oleh para ahli untuk para penyandang cacat, tanpa sipenderita mau merehabilitasi diri sendiri, maka program rehabilitasi tersebut  sia – sia. Dengan demikian dalam menyusun program rehabilitasi hendaknya individu yang diberikan program rehabilitasi harus diikut sertakan.
Untuk keberhasilan program rehabilitasi berarti setiap individu harus dapat mengembangkan segala potensinya yang dimiliki secara aktif dan disiplin mengikuti program – program rehabilitasi yang telah disusun bersama antara tenaga ahli rehabilitasi dengan penderita.
Dr. Rusk (1978), seorang ahli rehabilitasi mengatakan bahwa pada dasarnya rehabilitasi adalah “self rehabilitation”, artinya keberhasilan dari pada rehabilitasi itu tergantung dari motifasi penderita mau merehabilitasi dirinya sendiri dalam mengembangkan potensinya seoptimal mungkin karena para ahli hanya membarikan petunjuk, bimbingan, dan kemudahan fasilitas, serta mendorong penderita untuk keberhasilan program rehabilitasi yang dijalaninya.
Dengan demikian dalam menjalankan program rehabilitasi, penderita penyandang cacat harus mempunyai sikap antara lain seperti
Ø     Aktif
Artinya penderita tidak diam saja dalam kterbatasannya, menunggu perintah baru mau menjalankan kegiatan, tetapi hendaknya pederita senantiasa megembangkan dirinya sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Dan aktif untuk mecari tau apa yang dilakukan dalam mengatasi keterbaatasanya, serta aktif menjalankan program – program yang telah disepakati demi keberhasilan program rehabilitasi.
Ø     Disiplin
Dalam arti taat dalam menjalankan semua peraturan - peraturan yang sudah disepakati antara pembimbing, Pembina, dan penderita demi tercapainya tujuan yang diharapkan.
Ø     Kemauan
Dalam hal ini penderiata atau pasien harus dapat mengembangkan kemauannya, karena tidak menutup kemungkinan bila ada sesuatu yang diinginkan.Kemauan – kemauan ini harus diutarakan atau dibicarakan oleh pembimbing atau instruktur, dengan demikian ada saling keterbukaan didalam menjalankan program rehabilitasi.
Ø     Mengatasi kecacatan
Artinya, penderita harus mempunyai sikap mengatasi kecacatannya,  karena apabila kecacatannya itu tidak dapat diatasi sendiri, maka orang lainpun akan mengalami kesulitan dalam membantunya. Jadi penderita harus ada kemauanbagaimana mengatasi kecacatan ini, dengan demikian aakn memudahkan menjalankan program rehabilitasi.
Ø     Menghilangkan ketergantungan
Dalam hal ini penderita harus mempunyai sikap menghilangkan ketergantungan pada orang lain. Jadi disini penderita harus berusaha menjalankan program rehabilitasi yang telah disusun untuknya, walaupun tanpa harus diawasi terus oleh pembimbing. Sikap tidak menguntunkan diri kepada orang lain ini penting dalam mencapai keberhasilan rehabilitasi, serta pembentukan kepercayaan diri.
Dengan demikian keberhasilan program rehabilitas tergantung kepada individu penyandang cacat itu sendir, dan program direncanakan, dilakukan bersama – sama antara para ahli dan penderita.

2.4  Program Rehabilitasi Gagal
Proses rehabilitasi dapat mengalami kegagalan di sebabkan adanya sikap negatif dari individu penyandang cacat terhadap proses rehabilitasi tersebut dan biasanya sikap negative ini mempunyai latar belakang yang mempengaruhinya yang satu sama lain saling berkaitan, contoh misalnya :
1.      Perasaan tidak aman
2.      Tidak ada kematangan emosi
3.      Kecemasan yang mendalam
4.      Perasaan rendah diri yang kuat
5.      Tidak ada daya tahan terhadap frustasi
6.      Masalah-masalh pribadi
7.      Kurangnya motivasi, dan
8.      Sikap tidak wajar
Selain sikap negative dari individu penyandang cacat, kegagalan program rehabilitasidapat juga datang dari latar belakang keluarga dan lingkungan.





BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ada beberapa pengertian rehabilitasi yang ungkapkan oleh berbagai tokoh, seperti Soewito (Sri Widati 1984 : 5) salah seorang ahli rehabilitasi di RC Surakarta, Kurt Janson seorang social worker, hingga Departemen social. Dari pendapat-pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi adalah mengembalikan sesuatu kepada keadaan semula yang tadinya dalam keadaan baik, tetapi karena sesuatu hal kemudian menjadi tidak berfungsi atau rusak.
Hakekatnya rehabilitasi merupakan pendekatan total, yang merupakan suatu pendekatan komprehansip, kesemuanya yang bertujuan membentuk individu yang utuh dalam aspek fisik, mental, emosional dan sosial agar ia dapat berguna.

3.2 Saran
Pada anak berkebutuhan khusus, memang perlu adanya rehabilitasi.Terutama pada yang mengalami gangguan berat.Pemberian rehabilitasi pada anak berkebutuhan khusus tidak semena-mena.Harus ada dilakukan assessment terlebih dahulu.Untuk dilihat apakah anak tersebut perlu mendapatkan rehabilitasi atau bisa ditangani dengan pengajaran atau bimbingan biasa.Penerapan rehabilitasipun harus sesuai dengan prosedur-prosedur yang berlaku.Agar dapat memaksimalkan fungsi dari rehabilitasi itu sendiri.




DAFTAR PUSTAKA


Sunaryo. Dasar – dasar Rehabilitasi dan Pekerjaan Sosial : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Guru.

teori Koneksionisme

BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Koneksionisme adalah teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia.Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran (reward) penguatan dari lingkungan.
Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulusnya.Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil belajar.
Seperti contohnya dalam teori ini dilakukan percobaan pada binatang seekor kucing.Pada percobaan tersebut menghasilkan teori trial and error (selecting and connecting). Yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba dan membuat salah. Dalam percobaan ini kucing tersebut cenderung meninggalkan perbuatan X yang tidak mempunyai hasil.Setiap respon menimbulkan stimulus yang baru. Selanjutnya stimulus baru itu akan menimbulkan respon lagi

1.2         Rumusan Masalah
1.    Apakah Teori Koneksionisme itu?
2.    Bagaimana Prinsip-Prinsip Belajar Oleh Edward Lee Thorndik?
3.    Bagaimana Hukum Teori Koneksionisme?
4.    Bagaimana Kelebihan dan Kekurangan Teori Koneksionisme?
5.    Bagaimana Aplikasi Teori Koneksionisme Terhadap Pembelajaran Siswa?
1.3         Tujuan
1.    Untuk Mengetahui Teori Koneksionisme
2.    Untuk Mengetahui Prinsip-Prinsip Belajar Oleh Edward Lee Thorndik
3.    Untuk Mengetahui Hukum Teori Koneksionisme
4.    Untuk Mengetahui Kelebihan dan Kekurangan Teori Koneksionisme
5.    Untuk Mengetahui Aplikasi Teori Koneksionisme Terhadap Pembelajaran Siswa

































BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Teori Koneksionisme
Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan Amerika.Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921),Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order (1940).
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang.Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha –usaha atau percobaanpercobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting andconnecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.Olehkarena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebutdengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di duniapendidikan tersebut maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopordalam psikologi pendidikan.
Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucingyang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup danpintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalamsangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial anderror” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengancara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-cobaini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatanyang tidak mempunyai hasil. Setiap response menimbulkan stimulus yangbaru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan response lagi,demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:
S                      R                     S1                    R1                   dst
Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan,maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncatkian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, makaterbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan.Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh kenoptersebut apabila di luar diletakkan makanan.

2.2  Prinsip-Prinsip Belajar Oleh Edward Lee Thorndik
Adapun Prinsip-Prinsip Belajar yang Dikemukakan oleh Edward Lee Thorndik, yaitu :
1.    Pada saat seseorang berhadapan dengan situasi yang baru, berbagai respon yang ia lakukan. Adapun respon-respon tiap-tiap individu berbeda-beda tidak sama walaupun menghadapi situasi yang sama hingga akhirnya tiap individu mendapatkan respon atau tindakan yang cocok dan memuaskan. Seperti contoh seseorang yang sedang dihadapkan dengan problema keluarga maka seseorang pasti akan menghadapi dengan respon yang berbeda-beda walaupun jenis situasinya sama, misalnya orang tua dihadapkan dengan prilaku anak yang kurang wajar.
2. Dalam diri setiap orang sebenarnya sudah tertanam potensi untuk mengadakan seleksi terhadap unsur-unsur yang penting dan kurang penting, hingga akhirnya menemukan respon yang tepat. Seperti orang yang dalam masa pekembangan dan menyongsong masa depan maka sebenarnya dalam diri orang tersebut sudah menegetahui unsur yang penting yang harus dilakukan demi mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan.
3. Orang cenderung memberikan respon yang sama terhadap situasi yang sama. Seperti apabila seseorang dalam keadaan stress karena diputus oleh pacarnya dan ia mengalami ini bukan hanya kali ini melainkan ia pernah mengalami kejadian yang sama karena hal yang sama maka sudah barang tentu ia akan merespon situasi tersebut seperti yang ia lakukan seperti dahulu yang ia lakukan.


2.3  Hukum Teori Koneksionisme
Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
1.    Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasanindividu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatanmembentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera dengankecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atautertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderungmengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas danbelajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.
Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain. Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya,ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
2.    Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih (digunakan) , maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
3.    Hukum Akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya,suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi. Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.

Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa diperantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis(Suryobroto, 1984).Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:
a.       Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response).
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses trial dan error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalahyang dihadapi.
b.      Hukum Sikap ( Set/ Attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif,emosi , sosial , maupun psikomotornya.
c.       Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).
d.      Hukum Respon by Analogy.
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
e.       Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting )
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyamapaian teorinya thorndike mengemukakan revisi HukumBelajar antara lain :
1.    Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah.
2.    Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah,sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
3.    Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan,tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.
4.    Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain. Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem box-nya.

2.4  Kelebihan dan Kekurangan Teori Koneksionisme
·         Kelebihan Teori Koneksionisme
Dengan sering melakukan pengulangan dalam memecahkan suatu permasalahan, anak didik akan memiliki sebuah pengalaman yang berharga. Selain itu dengan adanya sistem pemberian hadiah akan, membuat anak didik menjadi lebih memiliki kemauan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
·         Kekurangan Teori Koneksionisme
Kegiatan yang terlalu sering dilakukan, akan membuat anak didik menjadi
merasa jenuh yang mungkin saja dapat mengakibatkan dia menjadi merasa
enggan untuk mencobanya lagi. Selain itu dengan adanya sistem
pemberian hadiah akan membuat sebuah ketergantungan pada anak didik
dalam melakukan sebuah kegiatan.

2.5  Aplikasi Teori Koneksionisme Terhadap Pembelajaran Siswa
Edward Lee Thorndike berpendapat, cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan murid tahu apa yang telah diajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak diajarkan. Dengan ini guru harus mengerti materi apa yang hendak diajarkan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respons yang salah. Maka tujuan pendidikan harus dirumuskan dengan jelas.
Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didikan dan harus terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacam-macam situasi.Supaya peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus bertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks.
Dalam belajar, motivasi tidak begitu penting karena perilaku peserta didik terutama ditentukan oleh external rewards dan bukan oleh intrinsic motivation.Yang lebih penting dari ini ialah adanya respon yang benar terhadap stimulus.Bila peserta didikan melakukan respon yang salah, harus segera diperbaiki, sebelum sempat diulang-ulang.Dengan demikian ulangan yang teratur diperlukan sebagai kontrol bagi guru, untuk mengetahui apakah peserta didik sudah melakukan respon yang benar atau belum terhadap stimulus yang diberikan oleh guru.
Supaya guru mempunyai gambaran yang jelas dan tidak keliru terhadap kemajuan anak, ulangan harus dilakukan dengan mengingat hukum kesepian.Peserta didik yang sudah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan bila belum baik harus segera diperbaiki.Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam masyarakat sebanyak mungkin, sehingga dapat terjadi transfer dari kelas ke lingkungan di luar kelas.Materi pelajaran yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak kelak setelah keluar dari sekolah.
Dengan diberikannya pelajaran-pelajaran yang sulit, yang melebihi kemampuan anak, tidak akan meningkatkan kemampuan penalarannya.  Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yng diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.



BAB III
KESIMPULAN

Koneksioisme merupakan suatu asosiasi atas kesan panca indra dengan
impuls untuk bertindak, suatu hubungan dimana terjadi karena adanya suatu perbuatan bukan pengertian, yang sangat berpengaruh terhadap suatu respon terhadap sebuah stimulus, suatu hubungan dalam penelitian Thorndike bukan tepat pada hewan saja melainkan sangat cocok terhadap pelajar, yang menghubungkan serta menggabungkan beberapa respon dari
sebuah stimulus yang akhirnya timbulnya sebuah kesadaran.
Trial and error merupaka suatu usaha yang positif dalam proses sebuah pembelajaran
yang berakhir dengan keberhasilan, apabila trial and error sudah tepat untuk dilakukan maka timbullah sebuah "respon yang tepat" maka hadiah, hukuman serta motivasi sangatlah berperan dalam stimulus dan respon. Suatu kesiapan, pelatihan serta pengaruh merupakan koneksionime
terhadap proses pembelajaran, dalam kesiapan tentunya ada kesiapan dantidak adanya kesiapan kalau segala sesuatu dipaksakan maka timbullah sesuatu yang sangat merugikan.
















DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin, Abdul Ghofur dkk. 1996 . Strategi Belajar Mengajar. CV Citra Media : Surabaya.
Suryabrata, Sumadi . 1990 . Psikologi Pendidikan . Rajawali Pres : Jakarta.
Syah, Muhibbin . 1990 . Psikologi . Pt. logos Wacana Ilmu : Jakarta.
http://muna.staff.lainslatiga.ac.id/wpcontent/upload/side65/2014/09/teorikoneksionisme-rev.pdf .( online). Di akses pada tanggal 30 Maret 2014.
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR.PEND..LUARSEKOLAH/197012101998022-IIPSARIPAH/TEORIPEMBELAJARAN.PDF. ( online ). Di akses pada tanggal 30 Maret 2014.
www.uny.ac.id/refleksigrup/sharefile/files.( online ). Di akses pada tanggal 30 Maret 2014.