Kamis, 15 Desember 2016

Pengoptimalan Pembelajaran Ideo-Visual Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi (Menulis) Pada Anak Tunarungu Kelas 2 SDN Prayungan II Bojonegoro




 Pengoptimalan Pembelajaran Ideo-Visual Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi (Menulis)  Pada Anak Tunarungu Kelas 2 SDN Prayungan II Bojonegoro

PROPOSAL PENELITIAN

Dosen Pengampu : Dr. Yuliati, M.Pd


Oleh 
MUHAMMAD AZIZ AVIVUDIN 
(14010044069)




UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

2016
  


Halaman Persetujuan Proposal Penelitian


Usulan Penelitian oleh            : Muhammad Aziz Avivudin
NIM                                        : 14010044069
Judul : PENGOPTIMALAN PEMBELAJARAN  IDEO-VISUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN LITERASI (MENULIS)  PADA ANAK TUNARUNGU KELAS 2 DI SDN PRAYUNGAN II BOJONEGORO


ini telah disetujui dan dinyatakan memenuhi syarat untuk diseminarkan.



Surabaya, 11 Desember 2016
Pembimbing

 








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bahasa merupakan sistem simbol vokal yang arbitrer dalam suatu kebudayaan tertentu,yang memiliki khas dan ciri tertentu. Digunakan oleh suat masyarakat untuk berinteraksi dan bekerja sama. Anak-anak belajar berkomunikasi dengan orang lain melalui berbagai cara. Meskipun cara yang digunakan pada setiap anak berbeda-beda. Pengetahuan tentang hakikat perkembangan bahasa anak, perkembangan bahasa lisan dan tulis yang terjadi pada mereka, serta perbedaan individual dalam pemerolehan bahasa sangat penting bagi pelaksanaan pembelajaran bahasa anak, khususnya pada waktu mereka belajar membaca dan menulis permulaan. Sehingga perkembangan bahasa atau komunikasi pada anak merupakan salah satu aspek dari tahapan perkembangan anak yang seharusnya tidak luput dari perhatian para pendidik pada umumnya dan orang tua pada khususnya. Itulah sebabnya calon guru sekolah dasar perlu menguasai berbagai konsep yang terkait dengan perkembangan dan pemerolehan bahasa anak.
Penelitian  ini membahas tentang psikolinguistik landasan pengajaran bahasa bagi anak Tunarungu yang diilhami tulisan A. Van Uden berjudul A Model Of Teaching A Mother Tongue to Pre-Lingually Deaf Children, Based on Psycholinguistic Principles (Suatu Model Penguasaan Bahasa Ibu Tuli Pra- Bahasa, Berdasarkan Prinsip Psikolinguistik) yang terdapat dalam buku yang dikarang oleh tokoh tersebut berjudul A Word Of Language For Deaf Children, Part I; Basic Principles, A Maternal Reflective Method).
Bagi para pendidik yang ingin mempelajari MMR untuk pembelajaran Ideo-visual, merupakan suatu keharusan untuk mempelajari dan memahami landasan yang digunakan A. Van Uden sebagai pencipta Metode Maternal Reflektif. Tokoh tersebut bertolak dari ilmu psikolinguistik atau psikologi bahasa, suatu ilmu yang mempelajari hukum – hukum yang melandasi perilaku berbahasa seseorang, yaitu bagaimana proses – proses mental seseorang sehingga memperoleh bahasa dan menggunakan bahasa (Slobin, 1974). Berbeda dari ilmu linguistik yang mempelajari hukum/ aturan system bahasa itu sendiri.
Pada awal bab ini perlu diraikan terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud Van Uden dengan bahasa ibu atau mengapa metodenya memakai maternal. Kemudian menyusul uraian bagaimana proses penguasaan bahasa ibu itu berlangsung pada anak mendengar melalui tiga tahapan, yaitu perilaku lahiriah, proses kognitif sebagai perantara, dan peran membaca serta menulis dalam perkembangan bahasa yang normal. Bagian pertama akan disusul dengan uraian tentang bagaimana A. Van Uden berdasarkan model tersebut mengembangkan suatu didaktik untuk mengajar bahasa ibu pada anak tuli dengan tekanan berlangsungnya percakapan, pemahaman bahasa secara fleksibel/luwes (termasuk belajar membaca) dan menuntut anak agar menemukan sendiri aturan / hukum bahasa.
Tidak semua lembaga pendidikan menggunakan Ideo-visual untuk pengajaran menulis bagi anak tunarungu, dikarenakan tidak semua guru mau menggunakan pembelajaran ini, dengan kondisi demikian inilah dilakukan penelitian dengan mempertanyakan bagaimana efektifitas pembelajaran Ideo-Visual terhadap kemampuan bahasa anak Tunarungu, maka peneliti

 
mengambil judul “Pengoptimalan Pembelajaran Ideo-Visual Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi (Menulis)  Pada Anak Tunarungu Kelas 2 SDN Prayungan II Bojonegoro”.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana Pengoptimalan Pembelajaran Ideo-Visual Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi (Menulis)  Pada Anak Tunarungu Kelas 2 SDN Prayungan II Bojonegoro?”

C.    Tujuan Penelitian
Untuk mendeskripsikan Pengoptimalan Pembelajaran Ideo-Visual Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi (Menulis)  Pada Anak Tunarungu Kelas 2 SDN Prayungan II Bojonegoro

D.    Manfaat Penelitian
1.    Secara teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan sumber informasi bagi pengembangan kemampuan menulis anak tunarungu.

2.    Secara praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap Pengoptimalan Pembelajaran Ideo-Visual Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi (Menulis)  Pada Anak Tunarungu Kelas 2 SDN Prayungan II di Bojonegoro, serta dapat memberikan pengetahuan dan informasi bagi guru dan staf di SDN Prayungan II.

E.     Batasan Masalah
Agar pelaksanaan penelitian berjalan lancar dan tidak meluas, maka penulis membatasi masalah penelitian sebagai berikut :
1.    Subyek penelitian terbatas pada siswa Tunarungu yang ada di kelas 2 SDN Prayungan II
2.    Materi penelitian terbatas pada kemampuan menulis siswa Tunarungu pada kelas 2 SDN Prayungan II

F.     Asumsi
Asumsi atau anggapan dasar yang digunakan sebagai pemecahan masalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Pembelajaran Ideovisual mencoba menggabungkan bahasa percakapan yang normal  sehari-hari waktu masa kanak-kanak dengan pengajaran aturan/hukum kelukuan gramatikal.
2.    Anak tunarungu mengalami hambatan dalam berbahasa lisan amaupun tulis.







BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.  Tinjauan tentang Teknik Membaca Ideo-Visual.
1. Pengertian Membaca
Membaca merupakan aktivitas audiovisual untuk memperoleh makna dari simbol yang berupa huruf atau kata. Munawir Yusuf, Sunardi dan Mulyono Abdurrahman (2003: 69). Sedangkan menurut E. Brook Smith, Kenneth Goodman & Robert Meredith seperti yang dikutip oleh Prana Dwija Iswara & Ahmad Slamet Harjasujana (1996: 3), mendefinisikan “Membaca sebagai suatu proses rekontruksi makna yang berasal dari bahasa yang dinyatakan dalam bentuk lambing atau huruf-huruf dan rekontruksi itu bersifat aktif.” Menurut Heilman dalam Suwaryono Wiryodijoyo (1989: 1), “Membaca ialah proses mendapatkan arti dari kata-kata tertulis.”
Sedangkan menurut Suwaryono Wiryodijoyo (1989: 1), sebagai berikut : Membaca ialah pengucapan kata-kata dan perolehan arti dari barang cetakan. Kegiatan ini melibatkan analisis, dan pengorganisasian berbagai keterampilan yang kompleks. Termasuk didalamnya pelajaran, pemikiran, pertimbangan, perpaduan, pemecahan masalah, yang berarti menimbulkan kejelasan informasi bagi pembaca. Dari pengertian-pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan membaca merupakan kegiatan memahami kalimat, kata maupun huruf dengan menggunakan segenap kemampuan gerak mata dan ketajaman penglihatan serta kemampuan pemahaman dan ingatan.

2.  Pengertian Membaca Ideo-Visual
Membaca dan menulis dalam masyarakat modern tidak dapat dikesampingkan karena tanpa kemampuan ini dunia kita akan tertutup dan terbatas pada apa yang ada pada sekitar kita. Karena itu manusia modern umumnya dapat membaca dan menulis. (Soenjono Dardjowidjojo, 2003: 299). Menurut Lani Bunawan dan Cecilia Susila Yuwati, (2000: 92) membaca ideo-visual adalah anak mengerti suatu bacaan yang dibacanya yang memuat halhal yang sudah diketahui sebelumnya, berdasarkan hasil pengamatannya sendiri.
Dalam percakapan ada beberapa kata yang belum dapat diucapkan oleh anak langsung ditulis dalam situasi berupa visualisasi percakapan. Kemudian dituangkan menjadi suatu bacaan yang bebas serta “disimpan”/ dicatat dalam buku anak. Van Uden dalam Lani Bunawan & Cecilia Susila Yuwati (2000:92), bacaan tersebut disebut deposit, karena dianggap bahwa suatu harta kekayaan seseorang di bank yang dapat menghasilkan bunga. Maka bacaan merupakan penuangan pengalaman berbahasa anak yang dipahami dan disimpan dalam benak anak, yang merupakan simpanan kekayaan bahasa yang makin dapat menghasilkan buah pemahaman dan produksi bahasa lebih lanjut. Munawir Yusuf et al, (2003: 76) berpendapat bahwa anak pada tahap perkembangan keterampilan membaca kira-kira usia 7-9 tahun, pengajaran membaca sebaiknya dipusatkan pada pengembangan kosa kata atau perbendahaaraan kata, pengembangan keterampilan memahami, dan memotivasi anak.
Menurut Soenjono Dardjowidjojo, (2003: 303) memaparkan bahwa salah satu syarat untuk dapat memahami suatu bacaan memerlukan pengetahuan tentang dunia, pengalaman dimasa lampau, dan memori untuk dapat memahami yang tersirat. Sesuai pendapat ahli diatas penulis mengungkapkan bahwa untuk memulai mengembangkan kemampuan kebahasaan anak salah satunya diawali dengan pengembangan perbendaharaan katanya, didukung pengalaman yang sudah anak alami membantu anak untuk memahami suatu konsep kata atau kalimat yang dipelajari. Membaca ideo-visual merupakan membaca sesuatu yang sudah diketahui, sudah dialami dan dihayati terlebih dahulu. Anak-anak dapat membaca berdasarkan pengalamannya yang mengesankan, sehingga mudah timbul kembali. Dengan membaca ideo-visual berguna untuk melihat bentukbentuk grafis kata-kata itu berulang-ulang. Maka proses diferensiasi diberi umpan yang cocok, yaitu bentuk grafis yang mula-mula dicamkan secara global, dan semakin tampil dalam bagian-bagiannya, sehingga lambat laun anak dapat melihat bagian-bagian yang sama, entah berupa kata, suku kata atau huruf. Lani Bunawan dan Cecilia Susila Yuwati, (2000: 95) memaparkan persyaratan menyusun deposit yaitu, “Jangan selalu menggunakan bentuk pernyataan yang masih sering terjadi, tetapi gunakan suatu pertanyaan, suruhan atau seruan dan sesegera mungkin masukan ke dalam suatu percakapan kecil/ sederhana. Hal ini harus dijaga agar deposit tidak disusun mengikuti urutan kronologis yang tepat.” Lani Bunawan dan Cecilia Susila Yuwati (2000: 97) menjelaskan skala penilaian kemampuan membaca ideo-visual.

Membaca ideo-visual anak hanya mengerti teks yang mengungkapkan sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya, sehingga yang merumuskan pengalamannya.
1) Anak hanya mengerti teks mengenai pengalaman yang terjadi tidak lebih dari dua bulan lampau.
2) Anak dengan lancar mengerti bacaan dari buku yang bersumber pengalaman yang sudah ditulis, yang dibicarakan tiga bulan lalu atau  ebih.
3) Anak mengerti teks baru (misalnya bacaan dari buku, surat dari orangtua, dan sebagainya), yang sedikit banyak sudah berada di luar pengalamannya sendiri, namun masih mempunyai kaitan erat dengan pengalaman anak (pengalaman analog).
B.  Sekolah Inklusif
1.    Pengertian Sekolah Inklusif
Definisi tentang pendidikan inklusif bersifat progresif dan terus berubah, tetap diperlukan kejelasan konsep yang terkandung didalamnya. Sebab, banyak orang yang menganggap bahwa pendidikan inklusif sebagai versi lain dari pendidikan khusus/PLB (special education). Bila dicermati, konsep yang mendasari pendidikan inklusif sangat berbeda dengan konsep yang mendasari pendidikan khusus. Konsep pendidikan inklusif merupakan konsep pendidikan yang mempresentasikan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan keterbukaan dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh hak dasar mereka sebagai warga Negara.
Penyelenggara pendidikan inklusif menurut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun system pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik (Direktorat PKLK dikdas 2014:12).
Direktorat Pembinaan PKLK dikdas (2014:12) mengemukakan bahwa Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah satuan pendidikan pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan formal, Pendidikan Dasar dan Menengah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif harus memenuhi persyaratan sebagai penyelenggara pendidikan inklusif baik yang ditunjuk oleh pemerintah maupun atas inisiatif sendiri menerima dan memberikan program layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK).

 
PDBK yang direkomendasikan untuk mendapatkan layanan di kelas inklusif adalah PDBK yang tidak disertai hambatan intelektual dan dimungkinkan mampu mengikuti kurikulum reguler seperti teman sebayanya. Modifikasi dan adaptasi kurikulum dan pembelajaran, mungkin saja diperlukan bagi PDBK tertentu, akan tetapi tidak harus mengubah substansi dan kompetensi secara luas seperti yang dituntut dalam kurikulum reguler. Proses penyesuaian kurikulum dan pembelajaran dilakukan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan PDBK.  Program kekhususan tambahan diperlukan dalam kurikulum regular sesuai hasil asesmen (Direktorat Pembinaan PKLK dikdas 2014: 12-13)

2.    Persyaratan (kriteria) Sekolah Inklusif
Direktorat Pembinaan PKLK dikdas (2014:13) menyatakan bahwa penyelenggaraan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.    Komitmen komunitas sekolah
       Semua komunitas sekolah, baik kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik, orangtua, maupun masyarakat sekitar sekolah memahami dan menerima PDBK di sekolah dan berkomitmen secara sungguh-sungguh untuk memberikan layanan pendidikan bagi semua peserta didik termasuk PDBK. Untuk mewujudkan komitmen tersebut semua komunitas sekolah perlu mengikuti sosialisasi, bimbingan teknis, studi banding, atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif.

b.    Guru pendidikan khusus
1.    Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif memiliki sekurang-kurangnya satu orang guru pendidikan khusus (GPK)
2.    GPK memiliki kualifikasi pendidikan S1 PLB dari perguruan tinggi yang terakreditasi, atau S1 non-PLB yang sudah mengikuti pendidikan profesi guru (PPG) atau pendidikan kompetensi tambahan dalam bidang PLB/pendidikan khusus sesuai peraturan yang berlaku. 
3.    Dalam kondisi di sekolah belum tersedia GPK sesuai ketentuan di atas, pengadaan GPK dapat dilakukan melalui kemitraan dengan sekolah khusus atau SLB terdekat sebagai guru paruh waktu.
4.    Untuk mendukung sekolah penyelenggara pendidikan inklusif sekolah dapat memanfaatkan paraprofesional, misalnya relawan, orangtua, sebagai pendamping PDBK, atau mengikutkan guru umum (guru kelas atau guru mata pelajaran) dalam pelatihan tentang ke-PLB-an.

c.    Lingkungan dan sarana sekolah yang aksesibel
  Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif  menyediakan lingkungan yang aksesibel bagi PDBK, Contohnya label braille sebagai petunjuk ruang/gedung untuk mobilitas penyandang tunanetra, lift pada gedung bertingkat, display visual bagi PDBK dengan gangguan penglihatan. Ramp, toilet dan tempat duduk khusus bagi penyandang tunadaksa.

d.   Peralatan belajar khusus

 
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif harus menjamin tersedianya peralatan, media, atau alat bantu mengajar yang diperlukan untuk setiap jenis kebutuhan khusus. Misalnya, peserta didik tunanetra memerlukan buku/sumber belajar/mesin ketik braille, talking book, perekam suara, peta timbul; peserta didik gangguan pendengaran memerlukan alat bantu dengar; peserta didik bersulitan belajar memerlukan penataan ruang dengan variasi warna-warni minimal; peserta didik gangguan motorik memerlukan alat tulis termodifikasi, dll.

e.    Ruang sumber
Ruang sumber diperlukan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif untuk berbagai tujuan. Pada tahap awal, ruang sumber digunakan untuk proses identifikasi dan asesmen. Pada pelaksanaan layanan khusus, ruang sumber dapat dimanfaatkan untuk kegiatan bimbingan khusus / remediasi akademik, pengayaan, layanan terapi, tempat untuk case conference tim pendidikan khusus, serta tempat penyimpanan dokumen PDBK.

3.    Penyelenggaraan Sekolah Inklusif
Penyelenggara kelas inklusif menurut Direktorat Pembinaan PKLK dikdas (2014: 25-26) sebagai berikut:
a.    Peserta Didik
1.    Peserta didik yang dipertimbangkan untuk ditempatkan dalam kelas inklusif bersama dengan peserta didik regular, adalah PDBK yang tidak disertai dengan hambatan intelektual dan dimungkinkan dapat mengikuti kurikulum regular.
2.    Penempatan PDBK di kelas inklusif didasarkan atas hasil identifikasi dan asesmen yang dilakukan secara professional dan rekomendasi TPK.
3.    Jumlah PDBK dalam setiap kelas inklusif (per rombongan belajar) pada dasarnya tidak dibatasi, tergantung pada kompleksitas hambatan PDBK dan ketersediaan sumberdaya sekolah. Sekedar rambu-rambu sebagai bahan pertimbangan, rasio PDBK dibanding  non PDBK sekitar 1 : 10.

b.    Guru  di Kelas Inklusif 
1.    Selain Guru Kelas atau Guru Matapelajaran, setiap kelas inklusif perlu dukungan Guru Pendidikan Khusus (GPK).
2.    Keterlibatan GPK di kelas inklusif bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan berdasarkan program layanan khusus yang telah disusun sebelumnya.
3.    Guru reguler (guru kelas atau guru mata pelajaran) yang mengajar di kelas inklusif sebagaimana dimaksud memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.    Memiliki sikap dan kepedulian yang positif terhadap PDBK dan pendidikan inkusif.
b.    Memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar tentang layanan pendidikan untuk PDBK yang dapat diperoleh melalui kegiatan pengembangan diri/profesi.
4.    Guru reguler memiliki tugas pokok dan fungsi:
5.    Merencanakan pembelajaran
6.    Melaksanakan pembelajaran
7.    Mengevaluasi pembelajaran
8.    Melakukan tindaklanjut (remedial/pengayaan)
9.   

 
Guru pendidikan khusus (GPK) memiliki tugas dan fungsi pokok:
a.    Melakukan identifikasi dan asesmen PDBK
b.    Membantu guru reguler dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan tindaklanjut hasil pembelajaran bagi PDBK
c.    Memberikan layanan program kebutuhan khusus bagi PDBK sesuai dengan potensi, hambatan dan kebutuhan khususnya
d.   Memberi layanan informasi dan konsultasi  kepada guru, kepala sekolah, staf sekolah, orang tua dan pihak-pihak terkait tentang layanan pendidikan untuk PDBK.
e.    Membuat perangkat administrasi kesiswaan dan menyusun laporan kemajuan hasil belajar PDBK.

c.    Program kebutuhan khusus
Program bagi peserta didik berkebutuhan khusus menurut Direktorat Pembinaan PKLK dikdas (2014) sebagai berikut:
1.    Program kebutuhan khusus adalah program peningkatan kemampuan dasar yang terkait dengan aspek potensi, hambatan dan kebutuhan khusus PDBK agar dapat menjalankan fungsi kehidupan secara optimal. Program kebutuhan khusus sangat penting dibekalkan kepada PDBK karena akan diperlukan sebagai modalitas untuk dapat menjalankan berbagai aktivitas secara lebih baik.
2.    Jenis program kebutuhan khusus berbeda-beda untuk setiap PDBK, bergantung kepada jenis hambatannya. Tabel berikut menyajikan gambaran tentang program kebutuhan khusus untuk masing-masing kategori PDBK
3.    Program kebutuhan khusus dilaksanakan di luar jam belajar (sebagai kegiatan ekstra kurikuler wajib), atau dilaksanakan sebelum jam sekolah dimulai, atau setelah selesai jam sekolah, atau memanfaatkan waktu luang yang tersedia sesuai dengan kebutuhan.

C.    Tinjauan Tentang Anak Tuna Rungu Wicara.
a. Pengertian anak tuna rungu wicara.
Menurut Permanarian Somad dan Tati Hernawati, (1996: 26) “Anak tuna rungu adalah suatu keadaan kehilangan pendengaran yang dapat mengakibatkan seseorang tidak mampu menangkap berbagai perangsang terutama melalui indera pendengaran”. Menurut Sudibyo Markus dalam Sardjono, (1997: 8). Anak tuna rungu wicara adalah mereka yang menderita tuna rungu sejak bayi/ sejak lahir, yang karenanya tak dapat menangkap pembicaraan orang lain, sehingga tak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya, meskipun tak mengalami gangguan pada alat suaranya. Menurut Donald F. Moores dalam Permanarian Somad dan Tati Hernawati, (1996: 26). Orang tuli adalah seseorang dengan keadaan kehilangan kemampuan pendengaran pada tingkat 70 dB ISO atau lebih sehingga mengakibatkan tidak mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, baik menggunakan atau tidak alat bantu dengar. Sedangkan pengertian orang kurang dengar adalah seseorang dengan keadaan kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 35 dB sampai 69 dB ISO, yang dapat mengakibatkan kesulitan untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan alat bantu dengar. Menurut Djoko S. Sindhusakti, (1997: 23). Anak tuna rungu adalah anak yang pada periode 3 tahun pertama dari kehidupannya mengalami gangguan pendengaran, yang mengakibatkan terjadinya gangguan bicara oleh karena persepsi dan asosiasi dari suara datang ke telinga terganggu. Dari beberapa pendapat para ahli tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian anak tuna rungu wicara adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mengdengar baik sebagian atau seluruhnya, yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga dia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak kehidupan secara kompleks.

 

b.  Karakteristik Anak Tuna Rungu Wicara
Menurut Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996: 34) karakteristik anak tuna rungu dapat dilihat dari :
1) Segi Inteligensi.
2) Segi bahasa dan bicara.
3) Segi emosi dan sosial.
Adapun penjelasannya sebagai berikut :
1) Karakteristik Dalam Segi Inteligensi.
Pada umumnya anak tuna rungu memiliki inteligensi normal atau rata-rata, akan tetapi karena perkembangan inteligensi sangat di pengaruhi oleh perkembangan bahasa maka anak tuna rungu akan menampakan inteligensi yang rendah dimana hal ini disebabkan oleh kesulitan memahami bahasa. Anak tuna rungu akan memiliki prestasi yang lebih rendah jika dibanding anak normal/ mendengar untuk mata pelajaran yang diverbalisasikan. Akan tetapi anak tuna rungu mempunyai prestasi yang seimbang dengan anak normal/ mendengar untuk materi mata pelajaran yang tidak perlu diverbalisasikan. Perkembangan inteligensi anak tuna rungu tidak sama cepatnya dengan mereka yang mendengar. Anak mendengar dapat belajar banyak dari apa yang dapat didengarnya. Anak menyerap dari apa yang dapat
didengarnya dan segala sesuatu yang dapat dia dengar merupakan suatu latihan untuk berfikir. Sedangkan hal itu semua tidak terjadi pada anak tuna rungu. Rendahnya tingkat prestasi anak tuna rungu bukan disebabkan karena tingkat inteligensi yang rendah, tetapi pada umumnya disebabkan karena inteligensinya tidak mendapat kesempatan untuk berkembang dengan maksimal. Tidak semua aspek inteligensi anak tuna rungu terhambat, tetapi hanya yang bersifat verbal, misalnya dalam merumuskan pengertian, menarik kesimpulan, dan meramalkan suatu kejadian. Aspek inteligensi yang bersumber pada penglihatan dan yang berupa motorik tidak banyak mengalami hambatan, bahkan dapat berkembang dengan cepat.

2) Karakteristik Dalam Segi Bahasa dan Bicara.
Kemampuan berbicara dan bahasa anak tuna rungu berbeda dengan anak yang mendengar. Hal ini disebabkan perkembangan bahasa erat kaitannya dengan kemampuan mendengar. Bahasa adalah alat berpikir dan sarana utama seseorang untuk berkomunikasi, karena anak tuna rungu tidak bisa mendengar bahasa, kemampuan berbahasanya tidak akan berkembang bila ia tidak dididik dan dilatih secara khusus. Akibat ketidakmampuannya dibandingkan dengan anak yang mendengar dengan usia yang sama, maka dalam perkembangan bahasanya akan jauh tertinggal.
3) Karakteristik Dalam Segi Emosi dan Sosial.
Ketunarunguan dapat mengakibatkan terasing dari pergaaulan sehari-hari, yang berarti mereka terasing dari pergaulan atau aturan sosial yang berlaku dalam masyarakat dimana ia hidup. Keadaan ini menghambatperkembangan kepribadian anak menuju kedewasaan. Akibat dari keterasingan tersebut dapat menimbulkan efek-efek negatif seperti :

 
a) Egosentrisme yang melebihi anak normal.
b) Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas.
c) Ketergantungan terhadap orang lain.
d) Perhatian mereka lebih sukar dialihkan.
e) Mereka umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak masalah.
f) Mereka akan lebih mudah marah dan tersinggung.

c.  Klasifikasi dan Jenis-jenis Ketuna runguan.
Menurut Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996: 29) Klasifikasi anak tuna rungu dibagi atas kelompok besar/ dibagi menjadi dua golongan, yaitu tuli dan kurang dengar.
Orang tuli adalah seseorang yang mengalami kehilangan kemampuan dalam mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik dengan atau tanpa alat bantu dengar. Orang kurang dengar adalah seseorang yang mengalami kehilangan sebagian kemampuan mendengarnya, akan tetapi ia masih mempunyai sisa pendengaran dan pemakaian alat bantu dengar memungkinkan keberhasilan dan membantu proses informasi bahasa melalui pendengaran.
Menurut Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996: 32). Anak tunarungu dapat diklasifikasikan menurut anatomi fisiologisnya, antara lain:
1) Tuna rungu konduksi (hantaran), merupakan ketuna runguan yang disebabkan kerusakan atau tidak berfungsinya alat-alat pengantar getaran suara pada telinga bagian tengah. Tuna rungu konduksi terjadi karena pengurangan intensitas bunyi yang mencapai telinga bagian dalam, dimana syaraf pendengaran berfungsi.
2) Tuna rungu sensorineural (syaraf), merupakan ketuna runguan yang disebabkan karena keusakan atau tidak berfungsinya alat-alat pendengaran bagian dalam syaraf pendengaran yang menyalurkan getaran ke pusat pendengaran pada Lobus temporalis.
3) Tuna rungu campuran, merupakan ketunarunguan yang disebabkan kerusakan pada penghantar suara dan kerusakan pada syaraf pendengaran, baik bagian luar, tengah atau dalam.
Dari berbagai pendapat diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa:
Klasifikasi anak tuna rungu berdasarkan tingkatan/ gangguan pendengaran yang dialami anak tuna rungu dapat dibagi menjadi :
1) Mild Losses (Tuna rungu dengan tingkatan gangguan pendengaran ringan).
2) Marginal Losses (tuna rungu dengan tingkatan gangguan pendengaran menengah).
3) Moderat Losses (tuna rungu dengan tingkatan gangguan pendengaran sedang)
4) Severe Losses (tuna runngu dengan tingkatan gangguan pendengaran berat)
5) Profound Losses (tuna rungu dengan tingkatan gangguan pendengaran sangat berat)
Klasifikasi anak tuna rungu berdasarkan anatomi fisiologisnya/kerusakan alat-alat pendengarannya dibagi menjadi :
1) Tuna rungu konduksi
2) Tuna rungu sensorineural/ syaraf

 
3) Tuna rungu campuran.

D.   Penelitian yang Relevan
Pengaruh metode maternal reflektif dengan teknik Perdati dan teknik membaca ideo-visual terhadap Pemerolehan perbendaharaan kata anak Tuna rungu wicara di Surakarta.
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan Ada pengaruh yang positif dan signifikan penggunaan teknik perdati dan teknik membaca ideo-visual terhadap pemerolehan perbendaharaan kata anak tuna rungu wicara kelas D5 di SLB-B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2006-2007. Sehingga dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Deskripsi instrumen observasi yang diberikan kepada 8 responden untuk variabel teknik perdati menunjukan 48,9%, variabel teknik membaca ideo-visual 61,8%.
2. Persamaan garis regresi ganda Y = -28,0250 + 1,0358 X1 + 0,9359 X2 bahwa diperkirakan rata-rata pemerolehan perbendaharaan kata akan meningkat atau menurun sebesar 1,0358 untuk peningkatan atau penurunan setiap unit teknik perdati, dan akan meningkat atau menurun sebesar 0,9359 untuk peningkatan atau penurunan setiap unit teknik membaca ido-visual.
3. Besarnya sumbangan relatif dan sumbangan efektif yaitu :
a. Sumbangan relatif teknik perdati dengan pemerolehan perbendaharaan kata sebesar 51,16%
b. Sumbangan relatif teknik membaca ideo-visual dengan pemerolehan perbendaharaan kata sebesar 48,84%

E. Kerangka Berfikir

BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Jenis dan Rancangan Penelitian
Pada penelitian ini hasil pengumpulan data tentang efektifitas pembelajaran ideo-visual bagi anak Tunarungu kelas 2 di SDN Prayungan II Kabupaten Bojonegoro akan dideskripsikan kedalam bentuk angka, sehingga peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode deskriptif. Kemudian data diolah menggunakan Statistik Deskriptif.
Statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Penelitian yang dilakukan pada populasi (tanpa diambil sampelnya) jelas akan menggunakan statistik deskriptif dalam analisisnya (dalam Sugiyono, 2012; 207). Sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian deskriptif dengan analisis data kuantitatif adalah penelitian yang datanya berasal dari semua subjek yang ada pada populasi dengan menggunakan data statistik.

B.     Lokasi Penelitian
Penelitian ini  dilaksanakan di SDN Prayungan II Kabupaten Bojonegoro yang menjadi sekolah representatif sebagai percontohan sekolah inklusif di Kabupaten Bojonegoro, dan subjek yang sesuai dengan penelitian yang dimaksud.

C.    Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang diambil adalah siswa Tunarungu yang berada pada kelas 2 .Subjek penelitian yang dapat mewakili dalam penelitian ini adalah:
Tabel 3.1
Daftar Subjek Penelitian
No.

Nama SDN Inklusi
Kelas
Nama Siswa Tunarungu
1.
SDN PRAYUNGAN II
2
MJ, SB, PA, DW,

D.    Variabel dan Definisi Operasional
1.      Variabel
Variabel dalam penelitian ini terdapat satu variabel penelitian yaitu Pembelajaran ideo-visual.

2.      Definisi Operasional
a.       Ideo-visual
Dalam penelitian ini ideo-visual merupakan dapat membaca berdasarkan pengalamannya yang mengesankan, sehingga mudah timbul kembali. Dengan membaca ideo-visual berguna untuk melihat bentukbentuk grafis kata-kata itu berulang-ulang. Maka proses diferensiasi diberi umpan yang cocok, yaitu bentuk grafis yang mula-mula dicamkan secara global, dan semakin tampil dalam bagian-bagiannya, sehingga lambat laun anak dapat melihat bagian-bagian yang sama, entah berupa kata, suku kata atau huruf sehingga mempermudah siswa tunarungu untuk menuliskan bentuk grafis katanya.
b.      Tunarungu

 
Dalam penelitian ini anak tunarungu yang dimaksud adalah  anak tunarungu yang mempunyai hambatan dalam menuliskan pemikiranya karena kurangnya pengalaman berbahasa atau karena kurangnya perbendaharaan kata.
c.       Sekolah inklusif
Dalam penelitian ini sekolah inklusif yang dimaksud adalah SDN Prayungan II Kabupaten Bojonegoro

E.     Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
1.      Kuesioner (Angket)
2.      Observasi
3.      Wawancara

F.     Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.      Kuesioner (Angket)
Angket ditujukan untuk mendapatkan data bagaimana perkembangan bahasa anak tunarungu terutama dalam hal menulikan cerita berdasarkan pemikiranya di Sekolah Dasar Negeri Prayungan II Bojonegoro. Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan pertanyaan dalam bentuk pilihan abjad abcd dan e, dan guru pendamping khusus sebagai responden yang dimintai jawaban dari pernyataan secara tertulis.

2.      Observasi
Dalam melakukan pengamatan, peneliti melakukan observasi secara langsung pada subjek, peneliti tidak menggunakan instrument yang telah baku, tetapi hanya berupa rambu-rambu pengamatan. Metode observasi digunakan untuk mendapatkan data ketika anak melakukan kegiatan masuk sekolah, awal pembelajaran, inti pembelajaran, istirahat, ruang sumber, dan akhir pembelajaran, sesuai dengan pengalaman bahasa yang dimiliki siswa tunarungu untuk dapat meningkatkan kemampuan menulisnya, kemudian untuk menyamakan data pada angket sebelumnya, dan untuk melengkapi data angket yang belum terjawab

3.      Wawancara
Dalam penelitan ini pertanyaan diajukan secara langsung,  bebas namun terarah. Metode wawancara digunakan untuk mendapatkan data mengenai kemampuan menulis anak tunarungu di kelas 2 di linkungan sekolah inklusif dan upaya peningkatan kemampuan menulis dari pengalaman berbahasa anak tunarungu. Narasumber dalam wawancara ini adalah guru pendamping khusus yang dianggap lebih mengetahui keseharian anak tunarungu.

G.   

 
Teknik Analisis Data
Proses analisis data pada penelitian ini menggunakan data secara deskriptif dengan metode prosentase. Metode prosentase digunakan untuk melihat efektifitas pembelajaran ideo-visual untuk meningkatkan kemampuan menulis yang dilakukan anak tunarungu  di SDN Prayungan II Bojonegoro. Adapun rumus prosentase seperti dikemukakan Sudjana (2005: 50) sebagai berikut:






Keterangan:     P          =Prosentase
                        f           =Frekuensi
                        N         =Jumlah responden
                        100%   =Bilangan tetap

Pada penelitian ini pertanyaan dari rumusan masalah sebagai variabel yang akan dijabarkan menjadi indikator dan setiap indikator akan dijabarkan menjadi deskripsi dan selanjutnya akan menjadi instrument. Selanjutnya untuk menyimpulkan setiap indikator akan diuji dan dijawab secara deskriptif.
Pada penelitian ini juga menggunakan metode triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dan dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber, yaitu observasi yang dilakukan pada 4 anak tunarungu secara langsung dan melalui wawancara kepada guru pendamping khusus secara langsung.




 
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Salim. 2006. Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa.Surakarta: Depdikbud
Bintoro, Totok dan Tonny Santosa (2000), Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu, Jakarta : Yayasan Santi Rama
Ilahi, Mohammad Takdir. 2013. Pendidikan Inlkusif Konsep dan Aplikasi. Depok: Ar- Ruzz Media.

Ronny Kontour. 2004. Metode Penelitian: Untuk Penulisan Skripsi dan Thesis.

Sugiyono. 2010. Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta

Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Bumi Aksara.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar