Pengoptimalan
Pembelajaran Ideo-Visual Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi (Menulis) Pada Anak Tunarungu Kelas 2 SDN Prayungan II Bojonegoro
PROPOSAL PENELITIAN
Dosen Pengampu : Dr. Yuliati, M.Pd
Oleh
MUHAMMAD AZIZ AVIVUDIN
(14010044069)
PROPOSAL PENELITIAN
Dosen Pengampu : Dr. Yuliati, M.Pd
Oleh
MUHAMMAD AZIZ AVIVUDIN
(14010044069)
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA
2016
Halaman
Persetujuan Proposal Penelitian
Usulan
Penelitian oleh : Muhammad Aziz
Avivudin
NIM :
14010044069
Judul : PENGOPTIMALAN
PEMBELAJARAN IDEO-VISUAL UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN LITERASI (MENULIS)
PADA ANAK TUNARUNGU KELAS 2 DI SDN PRAYUNGAN II BOJONEGORO
ini
telah disetujui dan dinyatakan memenuhi syarat untuk diseminarkan.
Surabaya,
11 Desember 2016
Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bahasa
merupakan sistem simbol vokal yang
arbitrer dalam suatu kebudayaan tertentu,yang memiliki khas dan ciri tertentu.
Digunakan oleh suat masyarakat untuk berinteraksi dan bekerja sama. Anak-anak
belajar berkomunikasi dengan orang lain melalui berbagai cara. Meskipun cara
yang digunakan pada setiap anak berbeda-beda. Pengetahuan tentang hakikat
perkembangan bahasa anak, perkembangan bahasa lisan dan tulis yang terjadi pada
mereka, serta perbedaan individual dalam pemerolehan bahasa sangat penting bagi
pelaksanaan pembelajaran bahasa anak, khususnya pada waktu mereka belajar
membaca dan menulis permulaan. Sehingga perkembangan bahasa atau komunikasi
pada anak merupakan salah satu aspek dari tahapan perkembangan anak yang
seharusnya tidak luput dari perhatian para pendidik pada umumnya dan orang tua
pada khususnya. Itulah sebabnya calon guru sekolah dasar perlu menguasai
berbagai konsep yang terkait dengan perkembangan dan pemerolehan bahasa anak.
Penelitian ini membahas tentang psikolinguistik landasan
pengajaran bahasa bagi anak Tunarungu yang diilhami tulisan A. Van Uden
berjudul A Model Of Teaching A Mother Tongue to Pre-Lingually Deaf Children,
Based on Psycholinguistic Principles (Suatu Model Penguasaan Bahasa Ibu Tuli
Pra- Bahasa, Berdasarkan Prinsip Psikolinguistik) yang terdapat dalam buku yang
dikarang oleh tokoh tersebut berjudul A Word Of Language For Deaf Children,
Part I; Basic Principles, A Maternal Reflective Method).
Bagi
para pendidik yang ingin mempelajari MMR untuk pembelajaran Ideo-visual,
merupakan suatu keharusan untuk mempelajari dan memahami landasan yang
digunakan A. Van Uden sebagai pencipta Metode Maternal Reflektif. Tokoh
tersebut bertolak dari ilmu psikolinguistik atau psikologi bahasa, suatu ilmu
yang mempelajari hukum – hukum yang melandasi perilaku berbahasa seseorang,
yaitu bagaimana proses – proses mental seseorang sehingga memperoleh bahasa dan
menggunakan bahasa (Slobin, 1974). Berbeda dari ilmu linguistik yang
mempelajari hukum/ aturan system bahasa itu sendiri.
Pada
awal bab ini perlu diraikan terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud Van Uden
dengan bahasa ibu atau mengapa metodenya memakai maternal. Kemudian menyusul
uraian bagaimana proses penguasaan bahasa ibu itu berlangsung pada anak
mendengar melalui tiga tahapan, yaitu perilaku lahiriah, proses kognitif
sebagai perantara, dan peran membaca serta menulis dalam perkembangan bahasa
yang normal. Bagian pertama akan disusul dengan uraian tentang bagaimana A. Van
Uden berdasarkan model tersebut mengembangkan suatu didaktik untuk mengajar
bahasa ibu pada anak tuli dengan tekanan berlangsungnya percakapan, pemahaman
bahasa secara fleksibel/luwes (termasuk belajar membaca) dan menuntut anak agar
menemukan sendiri aturan / hukum bahasa.
Tidak
semua lembaga pendidikan menggunakan Ideo-visual untuk pengajaran menulis bagi
anak tunarungu, dikarenakan tidak semua guru mau menggunakan pembelajaran ini,
dengan kondisi demikian inilah dilakukan penelitian dengan mempertanyakan
bagaimana efektifitas pembelajaran Ideo-Visual terhadap kemampuan bahasa anak
Tunarungu, maka peneliti
|
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana Pengoptimalan
Pembelajaran Ideo-Visual Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi (Menulis) Pada Anak Tunarungu Kelas 2 SDN Prayungan II Bojonegoro?”
C.
Tujuan
Penelitian
Untuk mendeskripsikan Pengoptimalan Pembelajaran Ideo-Visual Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi
(Menulis) Pada Anak Tunarungu Kelas 2
SDN Prayungan II Bojonegoro
D.
Manfaat
Penelitian
1. Secara
teoritis
Secara teoritis penelitian ini
diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan sumber informasi bagi pengembangan
kemampuan menulis anak tunarungu.
2. Secara
praktis
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi terhadap Pengoptimalan Pembelajaran Ideo-Visual Untuk
Meningkatkan Kemampuan Literasi (Menulis)
Pada Anak Tunarungu Kelas 2 SDN Prayungan
II di Bojonegoro, serta dapat
memberikan pengetahuan dan informasi bagi guru dan staf di SDN Prayungan II.
E.
Batasan
Masalah
Agar pelaksanaan
penelitian berjalan lancar dan tidak meluas, maka penulis membatasi masalah
penelitian sebagai berikut :
1.
Subyek penelitian
terbatas pada siswa Tunarungu yang ada di kelas 2 SDN Prayungan II
2.
Materi penelitian
terbatas pada kemampuan menulis siswa Tunarungu pada kelas 2 SDN Prayungan II
F.
Asumsi
Asumsi atau anggapan
dasar yang digunakan sebagai pemecahan masalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Pembelajaran Ideovisual
mencoba menggabungkan bahasa percakapan yang normal sehari-hari waktu masa kanak-kanak dengan
pengajaran aturan/hukum kelukuan gramatikal.
2.
Anak tunarungu
mengalami hambatan dalam berbahasa lisan amaupun tulis.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Teknik Membaca Ideo-Visual.
1.
Pengertian Membaca
Membaca
merupakan aktivitas audiovisual untuk memperoleh makna dari simbol yang berupa
huruf atau kata. Munawir Yusuf, Sunardi dan Mulyono Abdurrahman (2003: 69).
Sedangkan menurut E. Brook Smith, Kenneth Goodman & Robert Meredith seperti
yang dikutip oleh Prana Dwija Iswara & Ahmad Slamet Harjasujana (1996: 3),
mendefinisikan “Membaca sebagai suatu proses rekontruksi makna yang berasal
dari bahasa yang dinyatakan dalam bentuk lambing atau huruf-huruf dan
rekontruksi itu bersifat aktif.” Menurut Heilman dalam Suwaryono Wiryodijoyo
(1989: 1), “Membaca ialah proses mendapatkan arti dari kata-kata tertulis.”
Sedangkan
menurut Suwaryono Wiryodijoyo (1989: 1), sebagai berikut : Membaca ialah
pengucapan kata-kata dan perolehan arti dari barang cetakan. Kegiatan ini
melibatkan analisis, dan pengorganisasian berbagai keterampilan yang kompleks.
Termasuk didalamnya pelajaran, pemikiran, pertimbangan, perpaduan, pemecahan
masalah, yang berarti menimbulkan kejelasan informasi bagi pembaca. Dari
pengertian-pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan membaca merupakan
kegiatan memahami kalimat, kata maupun huruf dengan menggunakan segenap
kemampuan gerak mata dan ketajaman penglihatan serta kemampuan pemahaman dan
ingatan.
2. Pengertian Membaca Ideo-Visual
Membaca
dan menulis dalam masyarakat modern tidak dapat dikesampingkan karena tanpa
kemampuan ini dunia kita akan tertutup dan terbatas pada apa yang ada pada
sekitar kita. Karena itu manusia modern umumnya dapat membaca dan menulis.
(Soenjono Dardjowidjojo, 2003: 299). Menurut Lani Bunawan dan Cecilia Susila
Yuwati, (2000: 92) membaca ideo-visual adalah anak mengerti suatu bacaan
yang dibacanya yang memuat halhal yang sudah diketahui sebelumnya, berdasarkan
hasil pengamatannya sendiri.
Dalam percakapan ada beberapa kata yang
belum dapat diucapkan oleh anak langsung ditulis dalam situasi berupa
visualisasi percakapan. Kemudian dituangkan menjadi suatu bacaan yang bebas
serta “disimpan”/ dicatat dalam buku anak. Van Uden dalam Lani Bunawan &
Cecilia Susila Yuwati (2000:92), bacaan tersebut disebut deposit, karena
dianggap bahwa suatu harta kekayaan seseorang di bank yang dapat menghasilkan
bunga. Maka bacaan merupakan penuangan pengalaman berbahasa anak yang dipahami
dan disimpan dalam benak anak, yang merupakan simpanan kekayaan bahasa yang
makin dapat menghasilkan buah pemahaman dan produksi bahasa lebih lanjut.
Munawir Yusuf et al, (2003: 76) berpendapat bahwa anak pada tahap perkembangan
keterampilan membaca kira-kira usia 7-9 tahun, pengajaran membaca sebaiknya
dipusatkan pada pengembangan kosa kata atau perbendahaaraan kata, pengembangan
keterampilan memahami, dan memotivasi anak.
Menurut Soenjono Dardjowidjojo, (2003:
303) memaparkan bahwa salah satu syarat untuk dapat memahami suatu bacaan
memerlukan pengetahuan tentang dunia, pengalaman dimasa lampau, dan memori
untuk dapat memahami yang tersirat. Sesuai pendapat ahli diatas penulis
mengungkapkan bahwa untuk memulai mengembangkan kemampuan kebahasaan anak salah
satunya diawali dengan pengembangan perbendaharaan katanya, didukung pengalaman
yang sudah anak alami membantu anak untuk memahami suatu konsep kata atau
kalimat yang dipelajari. Membaca ideo-visual merupakan membaca sesuatu yang
sudah diketahui, sudah dialami dan dihayati terlebih dahulu. Anak-anak dapat
membaca berdasarkan pengalamannya yang mengesankan, sehingga mudah timbul
kembali. Dengan membaca ideo-visual berguna untuk melihat bentukbentuk
grafis kata-kata itu berulang-ulang. Maka proses diferensiasi diberi
umpan yang cocok, yaitu bentuk grafis yang mula-mula dicamkan secara global,
dan semakin tampil dalam bagian-bagiannya, sehingga lambat laun anak dapat
melihat bagian-bagian yang sama, entah berupa kata, suku kata atau huruf. Lani
Bunawan dan Cecilia Susila Yuwati, (2000: 95) memaparkan persyaratan menyusun
deposit yaitu, “Jangan selalu menggunakan bentuk pernyataan yang masih sering
terjadi, tetapi gunakan suatu pertanyaan, suruhan atau seruan dan sesegera
mungkin masukan ke dalam suatu percakapan kecil/ sederhana. Hal ini harus
dijaga agar deposit tidak disusun mengikuti urutan kronologis yang tepat.” Lani
Bunawan dan Cecilia Susila Yuwati (2000: 97) menjelaskan skala penilaian
kemampuan membaca ideo-visual.
|
1)
Anak hanya mengerti teks mengenai pengalaman yang terjadi tidak lebih dari dua
bulan lampau.
2)
Anak dengan lancar mengerti bacaan dari buku yang bersumber pengalaman yang
sudah ditulis, yang dibicarakan tiga bulan lalu atau ebih.
3)
Anak mengerti teks baru (misalnya bacaan dari buku, surat dari orangtua, dan
sebagainya), yang sedikit banyak sudah berada di luar pengalamannya sendiri,
namun masih mempunyai kaitan erat dengan pengalaman anak (pengalaman analog).
B. Sekolah
Inklusif
1. Pengertian
Sekolah Inklusif
Definisi tentang
pendidikan inklusif bersifat progresif dan terus berubah, tetap diperlukan
kejelasan konsep yang terkandung didalamnya. Sebab, banyak orang yang
menganggap bahwa pendidikan inklusif sebagai versi lain dari pendidikan
khusus/PLB (special education). Bila
dicermati, konsep yang mendasari pendidikan inklusif sangat berbeda dengan
konsep yang mendasari pendidikan khusus. Konsep pendidikan inklusif merupakan
konsep pendidikan yang mempresentasikan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan
keterbukaan dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh hak dasar
mereka sebagai warga Negara.
Penyelenggara
pendidikan inklusif menurut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi
kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun system pembelajaran yang
disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik (Direktorat PKLK dikdas
2014:12).
Direktorat Pembinaan
PKLK dikdas (2014:12) mengemukakan bahwa Sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif adalah satuan pendidikan pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini jalur pendidikan
formal, Pendidikan Dasar dan Menengah yang menyelenggarakan pendidikan
inklusif. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif harus memenuhi persyaratan sebagai
penyelenggara pendidikan inklusif baik yang ditunjuk oleh pemerintah maupun
atas inisiatif sendiri
menerima dan memberikan program layanan pendidikan
bagi peserta didik
berkebutuhan khusus (PDBK).
|
2. Persyaratan
(kriteria) Sekolah Inklusif
Direktorat
Pembinaan PKLK dikdas (2014:13) menyatakan bahwa penyelenggaraan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Komitmen
komunitas sekolah
Semua komunitas
sekolah, baik kepala
sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik, orangtua, maupun masyarakat
sekitar sekolah memahami dan menerima PDBK di sekolah dan berkomitmen secara
sungguh-sungguh untuk memberikan layanan pendidikan bagi semua peserta didik
termasuk PDBK. Untuk mewujudkan komitmen tersebut semua komunitas sekolah perlu
mengikuti sosialisasi, bimbingan
teknis, studi banding, atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan
penyelenggaraan pendidikan inklusif.
b. Guru
pendidikan khusus
1.
Sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif memiliki sekurang-kurangnya satu orang guru
pendidikan khusus (GPK)
2.
GPK memiliki
kualifikasi pendidikan S1 PLB dari perguruan tinggi yang terakreditasi, atau S1
non-PLB yang sudah mengikuti pendidikan profesi guru (PPG) atau pendidikan
kompetensi tambahan dalam bidang PLB/pendidikan khusus sesuai peraturan yang
berlaku.
3.
Dalam kondisi di
sekolah belum tersedia GPK sesuai ketentuan di atas, pengadaan GPK dapat
dilakukan melalui kemitraan dengan sekolah khusus atau SLB terdekat sebagai
guru paruh waktu.
4.
Untuk mendukung sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif sekolah dapat memanfaatkan paraprofesional,
misalnya relawan, orangtua, sebagai pendamping PDBK, atau mengikutkan guru
umum (guru kelas atau guru mata pelajaran) dalam pelatihan tentang ke-PLB-an.
c. Lingkungan
dan sarana sekolah yang aksesibel
Sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif menyediakan lingkungan
yang aksesibel bagi PDBK, Contohnya label braille sebagai petunjuk ruang/gedung untuk mobilitas
penyandang tunanetra, lift
pada gedung bertingkat, display visual bagi PDBK dengan gangguan penglihatan. Ramp,
toilet dan tempat duduk khusus
bagi penyandang tunadaksa.
d. Peralatan
belajar khusus
|
e. Ruang
sumber
Ruang
sumber diperlukan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif untuk berbagai
tujuan. Pada tahap awal, ruang sumber digunakan untuk proses identifikasi dan
asesmen. Pada pelaksanaan
layanan khusus, ruang sumber dapat dimanfaatkan untuk kegiatan bimbingan khusus
/ remediasi akademik, pengayaan, layanan terapi, tempat untuk case conference tim pendidikan khusus, serta tempat
penyimpanan dokumen PDBK.
3. Penyelenggaraan
Sekolah Inklusif
Penyelenggara kelas
inklusif menurut Direktorat Pembinaan PKLK dikdas (2014: 25-26) sebagai
berikut:
a. Peserta
Didik
1. Peserta
didik yang dipertimbangkan untuk ditempatkan dalam kelas inklusif bersama
dengan peserta didik regular, adalah PDBK yang tidak disertai dengan hambatan
intelektual dan dimungkinkan dapat mengikuti kurikulum regular.
2. Penempatan
PDBK di kelas inklusif didasarkan atas hasil identifikasi dan asesmen yang
dilakukan secara professional dan rekomendasi TPK.
3. Jumlah
PDBK dalam setiap kelas inklusif (per rombongan belajar) pada dasarnya tidak
dibatasi, tergantung pada kompleksitas hambatan PDBK dan ketersediaan
sumberdaya sekolah. Sekedar rambu-rambu sebagai bahan pertimbangan, rasio PDBK
dibanding non PDBK sekitar 1 : 10.
b. Guru di Kelas Inklusif
1.
Selain Guru Kelas atau
Guru Matapelajaran, setiap kelas inklusif perlu dukungan Guru Pendidikan Khusus
(GPK).
2.
Keterlibatan GPK di
kelas inklusif bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan berdasarkan program
layanan khusus yang telah disusun sebelumnya.
3.
Guru reguler (guru
kelas atau guru mata pelajaran) yang mengajar di kelas inklusif sebagaimana
dimaksud memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Memiliki
sikap dan kepedulian yang positif terhadap PDBK dan pendidikan inkusif.
b. Memiliki
pengetahuan dan keterampilan dasar tentang layanan pendidikan untuk PDBK yang
dapat diperoleh melalui kegiatan pengembangan diri/profesi.
4.
Guru reguler memiliki
tugas pokok dan fungsi:
5.
Merencanakan
pembelajaran
6.
Melaksanakan
pembelajaran
7.
Mengevaluasi
pembelajaran
8.
Melakukan
tindaklanjut (remedial/pengayaan)
9.
|
a.
Melakukan
identifikasi dan asesmen PDBK
b.
Membantu
guru reguler dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan tindaklanjut hasil
pembelajaran bagi PDBK
c.
Memberikan
layanan program kebutuhan khusus bagi PDBK sesuai dengan potensi, hambatan dan
kebutuhan khususnya
d.
Memberi
layanan informasi dan konsultasi kepada
guru, kepala sekolah, staf sekolah, orang tua dan pihak-pihak terkait tentang
layanan pendidikan untuk PDBK.
e.
Membuat
perangkat administrasi kesiswaan dan menyusun laporan kemajuan hasil belajar
PDBK.
c.
Program
kebutuhan khusus
Program
bagi peserta didik berkebutuhan khusus menurut Direktorat
Pembinaan PKLK dikdas (2014) sebagai berikut:
1. Program
kebutuhan khusus adalah program peningkatan kemampuan dasar yang terkait dengan
aspek potensi, hambatan dan kebutuhan khusus PDBK agar dapat menjalankan fungsi
kehidupan secara optimal. Program kebutuhan khusus sangat penting dibekalkan
kepada PDBK karena akan diperlukan sebagai modalitas untuk dapat menjalankan
berbagai aktivitas secara lebih baik.
2. Jenis
program kebutuhan khusus berbeda-beda untuk setiap PDBK, bergantung kepada
jenis hambatannya. Tabel berikut menyajikan gambaran tentang program kebutuhan
khusus untuk masing-masing kategori PDBK
3. Program kebutuhan khusus dilaksanakan di luar jam belajar
(sebagai kegiatan ekstra kurikuler wajib), atau dilaksanakan sebelum jam
sekolah dimulai, atau setelah selesai jam sekolah, atau memanfaatkan waktu luang
yang tersedia sesuai dengan kebutuhan.
C.
Tinjauan Tentang Anak
Tuna Rungu Wicara.
a.
Pengertian anak tuna rungu wicara.
Menurut
Permanarian Somad dan Tati Hernawati, (1996: 26) “Anak tuna rungu adalah suatu
keadaan kehilangan pendengaran yang dapat mengakibatkan seseorang tidak mampu
menangkap berbagai perangsang terutama melalui indera pendengaran”. Menurut
Sudibyo Markus dalam Sardjono, (1997: 8). Anak tuna rungu wicara adalah mereka
yang menderita tuna rungu sejak bayi/ sejak lahir, yang karenanya tak dapat
menangkap pembicaraan orang lain, sehingga tak mampu mengembangkan kemampuan
bicaranya, meskipun tak mengalami gangguan pada alat suaranya. Menurut Donald
F. Moores dalam Permanarian Somad dan Tati Hernawati, (1996: 26). Orang tuli
adalah seseorang dengan keadaan kehilangan kemampuan pendengaran pada tingkat
70 dB ISO atau lebih sehingga mengakibatkan tidak mengerti pembicaraan orang
lain melalui pendengarannya sendiri, baik menggunakan atau tidak alat bantu
dengar. Sedangkan pengertian orang kurang dengar adalah seseorang dengan
keadaan kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 35 dB sampai 69 dB ISO,
yang dapat mengakibatkan kesulitan untuk mengerti pembicaraan orang lain
melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan alat bantu dengar. Menurut
Djoko S. Sindhusakti, (1997: 23). Anak tuna rungu adalah anak yang pada periode
3 tahun pertama dari kehidupannya mengalami gangguan pendengaran, yang
mengakibatkan terjadinya gangguan bicara oleh karena persepsi dan asosiasi dari
suara datang ke telinga terganggu. Dari beberapa pendapat para ahli tersebut,
penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian anak tuna rungu wicara adalah
seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mengdengar baik
sebagian atau seluruhnya, yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian
atau seluruh alat pendengaran, sehingga dia tidak dapat menggunakan alat
pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak kehidupan secara
kompleks.
|
b. Karakteristik Anak Tuna Rungu Wicara
Menurut
Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996: 34) karakteristik anak tuna rungu
dapat dilihat dari :
1)
Segi Inteligensi.
2)
Segi bahasa dan bicara.
3)
Segi emosi dan sosial.
Adapun
penjelasannya sebagai berikut :
1)
Karakteristik Dalam Segi Inteligensi.
Pada
umumnya anak tuna rungu memiliki inteligensi normal atau rata-rata, akan tetapi
karena perkembangan inteligensi sangat di pengaruhi oleh perkembangan bahasa
maka anak tuna rungu akan menampakan inteligensi yang rendah dimana hal ini
disebabkan oleh kesulitan memahami bahasa. Anak tuna rungu akan memiliki
prestasi yang lebih rendah jika dibanding anak normal/ mendengar untuk mata
pelajaran yang diverbalisasikan. Akan tetapi anak tuna rungu mempunyai prestasi
yang seimbang dengan anak normal/ mendengar untuk materi mata pelajaran yang
tidak perlu diverbalisasikan. Perkembangan inteligensi anak tuna rungu tidak
sama cepatnya dengan mereka yang mendengar. Anak mendengar dapat belajar banyak
dari apa yang dapat didengarnya. Anak menyerap dari apa yang dapat
didengarnya
dan segala sesuatu yang dapat dia dengar merupakan suatu latihan untuk
berfikir. Sedangkan hal itu semua tidak terjadi pada anak tuna rungu. Rendahnya
tingkat prestasi anak tuna rungu bukan disebabkan karena tingkat inteligensi
yang rendah, tetapi pada umumnya disebabkan karena inteligensinya tidak
mendapat kesempatan untuk berkembang dengan maksimal. Tidak semua aspek
inteligensi anak tuna rungu terhambat, tetapi hanya yang bersifat verbal,
misalnya dalam merumuskan pengertian, menarik kesimpulan, dan meramalkan suatu
kejadian. Aspek inteligensi yang bersumber pada penglihatan dan yang berupa
motorik tidak banyak mengalami hambatan, bahkan dapat berkembang dengan cepat.
2)
Karakteristik Dalam Segi Bahasa dan Bicara.
Kemampuan berbicara dan bahasa anak tuna
rungu berbeda dengan anak yang mendengar. Hal ini disebabkan perkembangan
bahasa erat kaitannya dengan kemampuan mendengar. Bahasa adalah alat berpikir
dan sarana utama seseorang untuk berkomunikasi, karena anak tuna rungu tidak
bisa mendengar bahasa, kemampuan berbahasanya tidak akan berkembang bila ia
tidak dididik dan dilatih secara khusus. Akibat ketidakmampuannya dibandingkan
dengan anak yang mendengar dengan usia yang sama, maka dalam perkembangan
bahasanya akan jauh tertinggal.
3)
Karakteristik Dalam Segi Emosi dan Sosial.
Ketunarunguan
dapat mengakibatkan terasing dari pergaaulan sehari-hari, yang berarti mereka
terasing dari pergaulan atau aturan sosial yang berlaku dalam masyarakat dimana
ia hidup. Keadaan ini menghambatperkembangan kepribadian anak menuju
kedewasaan. Akibat dari keterasingan tersebut dapat menimbulkan efek-efek
negatif seperti :
|
b)
Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas.
c)
Ketergantungan terhadap orang lain.
d)
Perhatian mereka lebih sukar dialihkan.
e)
Mereka umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak masalah.
f) Mereka akan lebih mudah marah
dan tersinggung.
c. Klasifikasi dan Jenis-jenis Ketuna runguan.
Menurut Permanarian Somad dan Tati
Hernawati (1996: 29) Klasifikasi anak tuna rungu dibagi atas kelompok besar/
dibagi menjadi dua golongan, yaitu tuli dan kurang dengar.
Orang tuli adalah seseorang yang
mengalami kehilangan kemampuan dalam mendengar sehingga menghambat proses
informasi bahasa melalui pendengaran, baik dengan atau tanpa alat bantu dengar.
Orang kurang dengar adalah seseorang yang mengalami kehilangan sebagian
kemampuan mendengarnya, akan tetapi ia masih mempunyai sisa pendengaran dan pemakaian
alat bantu dengar memungkinkan keberhasilan dan membantu proses informasi
bahasa melalui pendengaran.
Menurut Permanarian Somad dan Tati
Hernawati (1996: 32). Anak tunarungu dapat diklasifikasikan menurut anatomi
fisiologisnya, antara lain:
1)
Tuna rungu konduksi (hantaran), merupakan ketuna runguan yang disebabkan
kerusakan atau tidak berfungsinya alat-alat pengantar getaran suara pada
telinga bagian tengah. Tuna rungu konduksi terjadi karena pengurangan
intensitas bunyi yang mencapai telinga bagian dalam, dimana syaraf pendengaran
berfungsi.
2)
Tuna rungu sensorineural (syaraf), merupakan ketuna runguan yang disebabkan
karena keusakan atau tidak berfungsinya alat-alat pendengaran bagian dalam
syaraf pendengaran yang menyalurkan getaran ke pusat pendengaran pada Lobus
temporalis.
3) Tuna rungu campuran, merupakan
ketunarunguan yang disebabkan kerusakan pada penghantar suara dan kerusakan
pada syaraf pendengaran, baik bagian luar, tengah atau dalam.
Dari berbagai pendapat diatas
penulis dapat menyimpulkan bahwa:
Klasifikasi anak tuna rungu berdasarkan
tingkatan/ gangguan pendengaran yang dialami anak tuna rungu dapat dibagi
menjadi :
1)
Mild Losses (Tuna rungu dengan tingkatan gangguan pendengaran ringan).
2)
Marginal Losses (tuna rungu dengan tingkatan gangguan pendengaran
menengah).
3)
Moderat Losses (tuna rungu dengan tingkatan gangguan pendengaran sedang)
4)
Severe Losses (tuna runngu dengan tingkatan gangguan pendengaran berat)
5)
Profound Losses (tuna rungu dengan tingkatan gangguan pendengaran sangat
berat)
Klasifikasi
anak tuna rungu berdasarkan anatomi fisiologisnya/kerusakan alat-alat
pendengarannya dibagi menjadi :
1)
Tuna rungu konduksi
2)
Tuna rungu sensorineural/ syaraf
|
D. Penelitian yang Relevan
Pengaruh metode maternal reflektif dengan teknik Perdati dan teknik
membaca ideo-visual terhadap Pemerolehan perbendaharaan kata anak Tuna rungu
wicara di Surakarta.
Hasil
penelitian di lapangan menunjukkan Ada pengaruh yang positif dan
signifikan penggunaan teknik perdati dan teknik membaca ideo-visual terhadap
pemerolehan perbendaharaan kata anak tuna rungu wicara kelas D5 di SLB-B YRTRW
Surakarta Tahun Ajaran 2006-2007. Sehingga dapat diperoleh kesimpulan sebagai
berikut :
1.
Deskripsi instrumen observasi yang diberikan kepada 8 responden untuk variabel
teknik perdati menunjukan 48,9%, variabel teknik membaca ideo-visual 61,8%.
2.
Persamaan garis regresi ganda Y = -28,0250 + 1,0358 X1 + 0,9359 X2 bahwa diperkirakan
rata-rata pemerolehan perbendaharaan kata akan meningkat atau menurun sebesar
1,0358 untuk peningkatan atau penurunan setiap unit teknik perdati, dan akan
meningkat atau menurun sebesar 0,9359 untuk peningkatan atau penurunan setiap
unit teknik membaca ido-visual.
3. Besarnya
sumbangan relatif dan sumbangan efektif yaitu :
a.
Sumbangan relatif teknik perdati dengan pemerolehan perbendaharaan kata sebesar
51,16%
b.
Sumbangan relatif teknik membaca ideo-visual dengan pemerolehan
perbendaharaan kata sebesar 48,84%
E. Kerangka Berfikir
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A.
Jenis
dan Rancangan Penelitian
Pada penelitian ini hasil
pengumpulan data tentang efektifitas pembelajaran ideo-visual bagi anak
Tunarungu kelas 2 di SDN Prayungan
II Kabupaten Bojonegoro
akan dideskripsikan kedalam bentuk angka, sehingga peneliti menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan metode deskriptif. Kemudian data diolah
menggunakan Statistik Deskriptif.
Statistik deskriptif adalah
statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan
atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud
membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Penelitian yang
dilakukan pada populasi (tanpa diambil sampelnya) jelas akan menggunakan
statistik deskriptif dalam analisisnya (dalam Sugiyono, 2012; 207). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa penelitian deskriptif dengan analisis data kuantitatif
adalah penelitian yang datanya berasal dari semua subjek yang ada pada populasi
dengan menggunakan data statistik.
B.
Lokasi
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SDN Prayungan II Kabupaten Bojonegoro yang menjadi sekolah
representatif sebagai percontohan sekolah inklusif di Kabupaten Bojonegoro, dan subjek yang
sesuai dengan penelitian yang dimaksud.
C.
Subjek
Penelitian
Subjek penelitian yang
diambil adalah siswa Tunarungu yang berada pada kelas 2 .Subjek penelitian yang
dapat mewakili dalam penelitian ini adalah:
Tabel 3.1
Daftar Subjek Penelitian
No.
|
Nama
SDN Inklusi
|
Kelas
|
Nama
Siswa Tunarungu
|
1.
|
SDN PRAYUNGAN II
|
2
|
MJ,
SB, PA, DW,
|
D.
Variabel
dan Definisi Operasional
1. Variabel
Variabel dalam penelitian ini
terdapat satu variabel penelitian yaitu Pembelajaran ideo-visual.
2. Definisi
Operasional
a. Ideo-visual
Dalam penelitian
ini ideo-visual merupakan dapat membaca berdasarkan pengalamannya yang
mengesankan, sehingga mudah timbul kembali. Dengan membaca ideo-visual berguna
untuk melihat bentukbentuk grafis kata-kata itu berulang-ulang. Maka proses diferensiasi
diberi umpan yang cocok, yaitu bentuk grafis yang mula-mula dicamkan secara
global, dan semakin tampil dalam bagian-bagiannya, sehingga lambat laun anak
dapat melihat bagian-bagian yang sama, entah berupa kata, suku kata atau huruf
sehingga mempermudah siswa tunarungu untuk menuliskan bentuk grafis katanya.
b. Tunarungu
|
c. Sekolah
inklusif
Dalam penelitian
ini sekolah inklusif yang dimaksud adalah SDN Prayungan II Kabupaten Bojonegoro
E.
Instrumen
Penelitian
Instrumen
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Kuesioner
(Angket)
2. Observasi
3. Wawancara
F.
Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Kuesioner
(Angket)
Angket ditujukan untuk mendapatkan
data bagaimana perkembangan bahasa anak tunarungu terutama dalam hal menulikan
cerita berdasarkan pemikiranya di Sekolah Dasar Negeri Prayungan II Bojonegoro. Kuesioner dalam
penelitian ini menggunakan pertanyaan dalam bentuk pilihan abjad abcd dan e,
dan guru pendamping khusus sebagai responden yang dimintai jawaban dari
pernyataan secara tertulis.
2. Observasi
Dalam melakukan pengamatan,
peneliti melakukan observasi secara langsung pada subjek, peneliti tidak
menggunakan instrument yang telah baku, tetapi hanya berupa rambu-rambu
pengamatan. Metode observasi digunakan untuk mendapatkan data ketika anak
melakukan kegiatan masuk sekolah, awal pembelajaran, inti pembelajaran,
istirahat, ruang sumber, dan akhir pembelajaran, sesuai dengan pengalaman
bahasa yang dimiliki siswa tunarungu untuk dapat meningkatkan kemampuan
menulisnya, kemudian untuk menyamakan data pada angket sebelumnya, dan untuk
melengkapi data angket yang belum terjawab
3. Wawancara
Dalam penelitan ini pertanyaan
diajukan secara langsung, bebas namun
terarah. Metode wawancara digunakan untuk mendapatkan data mengenai kemampuan menulis
anak tunarungu di kelas 2 di linkungan sekolah inklusif dan upaya peningkatan
kemampuan menulis dari pengalaman berbahasa anak tunarungu. Narasumber dalam
wawancara ini adalah guru pendamping khusus yang dianggap lebih mengetahui
keseharian anak tunarungu.
G.
|
Proses analisis data
pada penelitian ini menggunakan data secara deskriptif dengan metode
prosentase. Metode prosentase digunakan untuk melihat efektifitas pembelajaran
ideo-visual untuk meningkatkan kemampuan menulis yang dilakukan anak tunarungu di SDN Prayungan
II Bojonegoro. Adapun rumus
prosentase seperti dikemukakan Sudjana (2005: 50) sebagai berikut:
Keterangan: P =Prosentase
f =Frekuensi
N =Jumlah responden
100% =Bilangan tetap
Pada penelitian ini
pertanyaan dari rumusan masalah sebagai variabel yang akan dijabarkan menjadi
indikator dan setiap indikator akan dijabarkan menjadi deskripsi dan
selanjutnya akan menjadi instrument. Selanjutnya untuk menyimpulkan setiap
indikator akan diuji dan dijawab secara deskriptif.
Pada penelitian ini
juga menggunakan metode triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dan
dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa
sumber, yaitu observasi yang dilakukan pada 4 anak tunarungu secara langsung
dan melalui wawancara kepada guru pendamping khusus secara langsung.
|
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Salim. 2006. Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa.Surakarta: Depdikbud
Bintoro,
Totok dan Tonny Santosa (2000), Penguasaan
Bahasa Anak Tunarungu, Jakarta : Yayasan Santi Rama
Ilahi,
Mohammad Takdir. 2013. Pendidikan
Inlkusif Konsep dan Aplikasi. Depok: Ar- Ruzz Media.
Ronny
Kontour. 2004. Metode Penelitian: Untuk Penulisan Skripsi dan Thesis.
Sugiyono.
2010. Metode penelitian kuantitatif
kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta
Sukardi.
2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar