Kamis, 03 Maret 2016
pengertian dan hakekat rehabilitasi
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Salah satu fungsi kesejahteraan sosial ialah fungsi rehabilitative,
antara lain bagi penyandang kelainan. Salah satu bentuk usaha kesejahteraan
sosial bagi penyandang kelainan ialah pelayanan program rehabilitasi. Secara
khusus rehabilitasi merupakan proses perbaiakan ditujukan kepada penderita
cacat atau anak luar biasa, agar mereka cakap berbuat untuk memiliki semaksimal
mungkin kegunaan baik jasmani, rohani, sosial, pekerjaan dan ekonomi.
Dengan demikian pada dasarnya rehabilitasi seantiasa memberikan perhatian
kepada keberadaan manusia, nasibnya, hak-haknyadan kewajibannya atau tanggung
jawab terhadap sesame manusia.
Rehabilitasi merupakan suatu pendekatan total yang komprehenshif dengan
tujuan memfungsikan kembali supaya klien dapat berguna. Pendekatan
komprehenshif adalah rehabilitasi yang tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri,
tetapi memerlukan bantuan dari phak lain. Dengan kata lain rehabilitasi
merupakan program multidisipliner.
Pelayanan pendidikan merupakan bagian dari program rehabilitasi. Karena
keduanya tidak dapat dipisahkan, mengingat pelayanan atau penanganan anak luar
biasa tidak dapat dilakuakan oleh satu disiplin ilmu, melainkan oleh berbagai
disiplin ilmu yang terkait. Maka program rehabilitasi bagi anak luar biasa,
bukan merupakan program rehabilitasi yang sama sekali terpisah dari program
pelayanan pendidikan luar biasa.
Keberhasilan pelayanan program rehabilitasi penderita cacat atau anak
luar baisa ini kecuali meningkatkan pelayanan pada panti-panti rehabilitasi
yang sudah ada, juga perlu ditempuh pemberian pelayanan melalui sistem non
panti (non-institusional). Untuk keberhasilan pelayanan rhabilitasi dengan
sistem non-institusional ini sebagaimana juga keberhasilan yang ditempuh
melalui sistem institusional, dimana koordinasi anatara disiplin ilmu yang
terkait dengan pelaksanaan rehabilitasi penderita cacat atau anak luar biasa
perlu diwujudkan sesuai dengan tugasnya masing-masing.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah perkembangan gerakan rehabilitasi
?
2.
Bagaimana pengertian rehabilitasi secara umum dan
khusus ?
3.
Bagaimana pengertian hakekat rehabilitasi ?
4.
Faktor apa sajakah yang mempengaruhi kegagalan
program rehabilitasi ?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui sejarah perkembangan gerakan
rehabilitasi
2.
Untuk mengetahui pengertian rehabilitasi secara
umum dan khusus
3.
Untuk mengetahui pengertian hakekat rehabilitasi
4.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kegagalan program rehabilitasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perkembangan gerakan
rehabilitasi
Gerakan rehabilitasi menampakkan
wujud seiring dengan perubahan perilaku atau sikap terhadap penderita kelainan
fisik, mental, sosial maupun emosional. Sikap dan perilaku terhadap penyandang
kelaian bergerak dari sikap yang didasari atas pandangan yang dihubungkan
dengan superstisi dan pemujaan terhadap kesempurnaan, kearah sikap atau
perilaku yang dilandasi oleh pandangan yang berasal pada segi medis dan
akhirnya terjadi perubahan sikap dan perlakuan yang sifatnya humanistis dan
ekologis.
Pada abad ke
18 pendekatan secara medis terhadap penderita kelainan mulai berkembang.
Penyebab terjadinya kelianan dikaitkan dengan faktor-faktor fisisk-biologis.
Dengan berkembangannya pendekatan medis
terhadap kelainan, mulai konsep rehabilitasi muncul.
Goldenson
(1978:6) menggambarkan perkembangan gerakan rehabilitasi. Pada tahun 1889 di
Amerika didirikan Cleveland Rehabilitation Center dan Boston Individual School
untuk anak-anak cacat tubuh pada tahun 1893. Di pusat rehabilitasi ini di
berikan latihan kerja dan layanan medis.
Diabad 18 dan 19 kemajuan gerakan
rehabilitasi semakin pesat dengan dukungan dari berbagai ahli yang menaruh
perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan anak luar biasa. Dalam sejarah
perkembangan pendidikan anak luar biasa di kenal tokoh-tokoh seperti Samuel
Gridley Howe, Thomas Hopkins Gallauder, Louis Braille.
Pada awalnya konsep rehabilitasi hanya
ditekankan pada rehabilitasi meddis dan rehabilitasi vokasional. Sejak perang
dunia kedua sampai saat ini, konsep rehabilitasi menjadi semakin luas. Konsep
rehabilitasi yang pada semulanya ditekankan pada rehabilitasi medis dan
vokasional, sekrang meliputi semua jenis kelianan. Tokoh-tokoh perluasan konsep
rehabilitasi di Amerika antara lain adalah Dr. Howard Rusk, Mary E Switsen dan
Dr. Henry Kessler. Dengan demikian luasnya konsep rehabilitasi, maka tanggung
jawab terhadap pelayanan penyandang kelianan bukan hanya terletak pada segi
medis saja tetapi menjadi tanggung jawab masyarakat.
Di Indonesia pada tahun 1964, tepatnya di
Surakarta berdiri pusat rehabilitasi yang dipelopori oleh Dr. Suharso yang
sekarang lebih dikenal dengan nama rumah sakit Dr. Suharto, selanjutnya
berkembang dengan mendirikan YPAC.
Goldenson (1978:8) menyatakan bahwa dengan
semakin luasnya pengertian rehabilitasi, rehabilitasi sekarang merupakan suatu
proses yang dinamis dan holistic, berdasarkan pemikiran yang comprehensive dan
kontinu terhadap tiap-tiap indiviidu penyandang kelainan, menyangkut
kebutuhan-kebutuhannya yang spesifik. Dengan demikian paling tidak rehabilitasi
mencakup empat jenis yang saling berkaitan, yaitu rehabilitasi fisik/medis,
rehabilitasi vokasional, rehabilitasi sosial dan rehabilitasi psikologi.
2.2 Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi
berasal dari kata yaitu re yang
berarti kembali dan habilitasi yang berarti kemampuan.Rehabilitasi berarti
mengembalikan kemampuan.
Namun kita
sering mendengar perkataan rehabilitasi, secara umum diartikan sebagai
pembetulan, perbaikan, pengembalian, kepada sesuatu yang lebih baik.Seperti
misalnya kita mendengar orang berbicara "jembatan itu sedang di
rehabilitasi", kita langsung mengerti bahwa jembatan tersebut sedang di
perbaiki.Kalau demikian pengertian rehabilitasi adalah perbaikan, artinya
jembatan itu tadinya berfungsi, karena suatu hal jembatan itu rusak atau tidak
berfungsi, maka dengan di rehabilitasi jembatan tersebut berfungsi kembali.Hal
ini kalau kita lihat pengertian rehabilitasi secara umum.
Secara khusus
lagi ada yang mengartikan rehabilitasi adalah proses perbaikan ditujukan pada
penderita cacat agar mereka cakap berbuat untuk memiliki seoptimal mungkin
kegunaan jasmani, rohani, sosial, pekerjaan, dan ekonomi.
Sebagai contoh
misalnya, seseorang karena suatu hal (kecelakaan), terpaksa kakinya harus di
amputasi (dipotong), agar ia dapat berjalan kembali, ia harus mengikuti program
rehabilitasi, antara lain latihan berjalan menggunakan kaki palsu. Jadi
pengertian rehabilitasi di sini adalah pengembalian fungsi semula, karena
tadinya orang itu dapat berjalan dengan baik karena suatu hal ia tidak dapat
berjalan, dengan rehabilitasi orang tersebut dapat berjalan kembali.
Untuk lebih
jelasnya, kita lihat pengertian rehabilitasi yang di kemukakan oleh para ahli.
Kurt Janson seorang social worker yang terkenal, didalam seminar rehabilitasi
penderita cacat se Asia dan Timur Jauh di Solo tahun 1977 yang dikutip oleh
Suroyo mengemukakan, bahwa rehabilitasi biasanya dibatasi sebagai suatu proses
pemberian bantuan kepada penderita cacat untuk mencapai sepenuh-penuhnya
tingkat penyesuaian ekonomi dan kegunaan menurut kemampuannya.
Menurut
Soewito (Sri Widati 1984 : 5) salah seorang ahli rehabilitasi di RC Surakarta
mengatakan :
Rehabilitasi penderita cacat merupakan segala daya
upaya, baik dalam bidang kesehatan, sosial, kejiwaan, pendidikan, ekonomi,
maupun bidang lain yang dikoordinir menjadi continuous process, dan yang
bertujuan untuk memulihkan tenang penderita cacat baik jasmaniah maupun
rohaniah, untuk menduduki kembali tempat di masyarakat sebagai anggota penuh
yang swasembada, produktif dan berguna bagi masyarakat dan negara.
Departemen sosial memberikan pengertian sebagai berikut,
rehabilitasi adalah proses refungsionalisai dan pengembangan untuk memungkinkan
penderita cacat mampu melakukan fungsi-fungsi sosialnya secara wajar dalam
kehidupan masyarakat.
Dari pengertian-pengertian
tersebut diatas dapat diambil kesimpulan mengenai pengertian rehabilitasi
adalah sebagai berikut :
Pertamadalam arti umum
rehabilitasi adalah "pemulihan-pemulihan
kembali" jadi, rehabilitasi mengembalikan sesuatu kepada keadaan
semula yang tadinya dalam keadaan baik, tetapi karena sesuatu hal kemudian
menjadi tidak berfungsi atau rusak.
Kedua apabila diartikan dengan
disability pengertiannya adalah pengembalian
orang-orang cacat kepada kegunaan secara maksimal baik dalam aspek fisik, mental,
personal, sosial, vocational, serta ekonomi sesuai dengan kemampuannya.
Ketiga diperlukan koordinasi dari berbagai bidang usaha
itu menjadi suatu proses yang berhubungan erat satu dengan yang lain, yang
merupakan team work menuju kearah tujuan akhir.
Keempat rehabilitasi dipergunakan
secara luas, mencakup habilitasi yang
diartikan sebagai suatu usaha untuk membantu mereka yang mengalami kelainan
sejak lahir atau pada masa kanak-kanak.
Terdapat berbagai macam
definisi mengenai rehabilitasi dalam peraturan perundang- undangan yaitu :
Pasal 1 angka 14 Undang undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang memberikan pengertian bahwa :
“Rehabilitasi adalah pemulihan dari
gangguan terhadap kondisi fisik, psikis dan sosial agar dapat melaksanakan
perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.”
Rehabilitasi diberikan
agar tercapainya pemulihan yang sempurna bagi diri korban yang mengalami
kekerasan seksual dan menurut pasal 35 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 40 tahun 2011 tentang
Pembinaan, Pendampingan, danPemulihan Terhadap Anak yang menjadi Korban atau
Pelaku Pornografi, Rehabilitasi Sosial diberikan dalam bentuk :
1.
Motivasi dan diagnosis psikososial
2.
Perawatan dan pengasuhan
3.
Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan
4.
Bimbingan mental spiritual
5.
Bimbingan fisik
6.
Bimbingan sosial dan konseling psikososial
7.
Pelayanan aksesibilitas
8.
Bantuan dan asistensisosial
9.
Bimbingan resosialisasi
10. Bimbingan lanjut
11. Rujukan
2.3 Pengertian Hakekat Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah suatu proses, produk, atau program yang sengaja
disusun agar orang – orang atau anak – anak yang cacat dapat mengembangkan
potensinya seoptimal mungkin atau dapat mefungsikan potensinya seoptimal mungkin
atau dapai mefungsikan potensi yang ia miliki sehingga dapat mencapai
pribadi lahir dan batin.
Dengan demikian pada hakekatnya rehabilitasi merupakan pendekatan total,
yang merupakan suatu pendekatan komprehansip, kesemuanya yang bertujuan membentuk
individu yang utuh dalam aspek fisik, mental, emosional dan sosial agar ia
dapat berguna. Jadi rehabilitasi itu bukan merupakan suatu usaha yang dilakukan
oleh para ahli untuk para penyandang cacat, tetapi harus penderita sendirilah
yang harus berusaha untuk melakkan prosedur yang telah ditetapkan, sehingga ia
dapat merubah dirinya sendiri menjadi manusia yang mandiri.
Sebaik apapun program rehabilitasi
yang diusahakan oleh para ahli untuk para penyandang cacat, tanpa
sipenderita mau merehabilitasi diri sendiri, maka program rehabilitasi
tersebut sia – sia. Dengan demikian
dalam menyusun program rehabilitasi hendaknya individu yang diberikan program
rehabilitasi harus diikut sertakan.
Untuk keberhasilan program rehabilitasi berarti setiap individu harus
dapat mengembangkan segala potensinya yang dimiliki secara aktif dan disiplin
mengikuti program – program rehabilitasi yang telah disusun bersama antara
tenaga ahli rehabilitasi dengan penderita.
Dr. Rusk (1978), seorang ahli rehabilitasi mengatakan bahwa pada dasarnya
rehabilitasi adalah “self rehabilitation”, artinya keberhasilan dari pada
rehabilitasi itu tergantung dari motifasi penderita mau merehabilitasi dirinya
sendiri dalam mengembangkan potensinya seoptimal mungkin karena para ahli hanya
membarikan petunjuk, bimbingan, dan kemudahan fasilitas, serta mendorong
penderita untuk keberhasilan program rehabilitasi yang dijalaninya.
Dengan demikian dalam menjalankan program rehabilitasi, penderita
penyandang cacat harus mempunyai sikap antara lain seperti
Ø
Aktif
Artinya penderita tidak diam saja
dalam kterbatasannya, menunggu perintah baru mau menjalankan kegiatan, tetapi
hendaknya pederita senantiasa megembangkan dirinya sesuai dengan potensi yang
dimilikinya. Dan aktif untuk mecari tau apa yang dilakukan dalam mengatasi
keterbaatasanya, serta aktif menjalankan program – program yang telah
disepakati demi keberhasilan program rehabilitasi.
Ø
Disiplin
Dalam arti taat dalam menjalankan
semua peraturan - peraturan yang sudah disepakati antara pembimbing, Pembina,
dan penderita demi tercapainya tujuan yang diharapkan.
Ø
Kemauan
Dalam hal ini penderiata atau pasien
harus dapat mengembangkan kemauannya, karena tidak menutup kemungkinan bila ada
sesuatu yang diinginkan.Kemauan – kemauan ini harus diutarakan atau dibicarakan
oleh pembimbing atau instruktur, dengan demikian ada saling keterbukaan didalam
menjalankan program rehabilitasi.
Ø
Mengatasi kecacatan
Artinya, penderita harus mempunyai
sikap mengatasi kecacatannya, karena
apabila kecacatannya itu tidak dapat diatasi sendiri, maka orang lainpun akan
mengalami kesulitan dalam membantunya. Jadi penderita harus ada
kemauanbagaimana mengatasi kecacatan ini, dengan demikian aakn memudahkan
menjalankan program rehabilitasi.
Ø
Menghilangkan ketergantungan
Dalam hal ini penderita harus
mempunyai sikap menghilangkan ketergantungan pada orang lain. Jadi disini
penderita harus berusaha menjalankan program rehabilitasi yang telah disusun
untuknya, walaupun tanpa harus diawasi terus oleh pembimbing. Sikap tidak menguntunkan
diri kepada orang lain ini penting dalam mencapai keberhasilan rehabilitasi,
serta pembentukan kepercayaan diri.
Dengan demikian keberhasilan program rehabilitas tergantung kepada
individu penyandang cacat itu sendir, dan program direncanakan, dilakukan
bersama – sama antara para ahli dan penderita.
2.4
Program Rehabilitasi Gagal
Proses
rehabilitasi dapat mengalami kegagalan di sebabkan adanya sikap negatif dari
individu penyandang cacat terhadap proses rehabilitasi tersebut dan biasanya
sikap negative ini mempunyai latar belakang yang mempengaruhinya yang satu sama
lain saling berkaitan, contoh misalnya :
1.
Perasaan tidak aman
2.
Tidak ada kematangan emosi
3.
Kecemasan yang mendalam
4.
Perasaan rendah diri yang kuat
5.
Tidak ada daya tahan terhadap frustasi
6.
Masalah-masalh pribadi
7.
Kurangnya motivasi, dan
8.
Sikap tidak wajar
Selain sikap
negative dari individu penyandang cacat, kegagalan program rehabilitasidapat
juga datang dari latar belakang keluarga dan lingkungan.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Ada beberapa
pengertian rehabilitasi yang ungkapkan oleh berbagai tokoh, seperti Soewito
(Sri Widati 1984 : 5) salah seorang ahli rehabilitasi di RC Surakarta, Kurt
Janson seorang social worker, hingga Departemen social. Dari pendapat-pendapat
para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi adalah mengembalikan
sesuatu kepada keadaan semula yang tadinya dalam keadaan baik, tetapi karena
sesuatu hal kemudian menjadi tidak berfungsi atau rusak.
Hakekatnya
rehabilitasi merupakan pendekatan total, yang merupakan suatu pendekatan
komprehansip, kesemuanya yang bertujuan membentuk individu yang utuh dalam
aspek fisik, mental, emosional dan sosial agar ia dapat berguna.
3.2 Saran
Pada anak
berkebutuhan khusus, memang perlu adanya rehabilitasi.Terutama pada yang
mengalami gangguan berat.Pemberian rehabilitasi pada anak berkebutuhan khusus
tidak semena-mena.Harus ada dilakukan assessment terlebih dahulu.Untuk dilihat
apakah anak tersebut perlu mendapatkan rehabilitasi atau bisa ditangani dengan
pengajaran atau bimbingan biasa.Penerapan rehabilitasipun harus sesuai dengan
prosedur-prosedur yang berlaku.Agar dapat memaksimalkan fungsi dari
rehabilitasi itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Sunaryo. Dasar – dasar Rehabilitasi dan Pekerjaan
Sosial : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Guru.
teori Koneksionisme
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Koneksionisme adalah teori belajar
yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia.Memandang individu sebagai
makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan
pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Ciri dari teori ini adalah
mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan
peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan
pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan
kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang
diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa
tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran (reward) penguatan dari
lingkungan.
Dengan demikian dalam tingkah laku
belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan
stimulusnya.Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku
siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil
belajar.
Seperti contohnya dalam teori ini
dilakukan percobaan pada binatang seekor kucing.Pada percobaan tersebut
menghasilkan teori trial and error (selecting and connecting). Yaitu bahwa belajar
itu terjadi dengan cara mencoba dan membuat salah. Dalam percobaan ini kucing
tersebut cenderung meninggalkan perbuatan X yang tidak mempunyai hasil.Setiap
respon menimbulkan stimulus yang baru. Selanjutnya stimulus baru itu akan
menimbulkan respon lagi
1.2
Rumusan Masalah
1. Apakah Teori Koneksionisme
itu?
2. Bagaimana Prinsip-Prinsip
Belajar Oleh Edward Lee Thorndik?
3. Bagaimana Hukum Teori
Koneksionisme?
4. Bagaimana Kelebihan dan
Kekurangan Teori Koneksionisme?
5. Bagaimana Aplikasi Teori
Koneksionisme Terhadap Pembelajaran Siswa?
1.3
Tujuan
1. Untuk Mengetahui Teori
Koneksionisme
2. Untuk Mengetahui
Prinsip-Prinsip Belajar Oleh Edward Lee Thorndik
3. Untuk Mengetahui Hukum
Teori Koneksionisme
4. Untuk Mengetahui Kelebihan
dan Kekurangan Teori Koneksionisme
5. Untuk Mengetahui Aplikasi
Teori Koneksionisme Terhadap Pembelajaran Siswa
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Teori Koneksionisme
Thorndike berprofesi
sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan Amerika.Lulus S1 dari
Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar
doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain
Educational Psychology (1903), Mental and social Measurements (1904), Animal
Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921),Your City (1939), dan Human
Nature and The Social Order (1940).
Menurut Thorndike, belajar
merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa
yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan
dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk
beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang
dimunculkan karena adanya perangsang.Dari eksperimen kucing lapar yang
dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan
antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang
tepat serta melalui usaha –usaha atau percobaanpercobaan (trials) dan
kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.Bentuk paling dasar dari belajar
adalah “trial and error learning atau selecting andconnecting learning” dan
berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.Olehkarena itu teori belajar yang
dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebutdengan teori belajar koneksionisme
atau teori asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi
sumbangan yang cukup besar di duniapendidikan tersebut maka ia dinobatkan
sebagai salah satu tokoh pelopordalam psikologi pendidikan.
Percobaan Thorndike yang
terkenal dengan binatang coba kucingyang telah dilaparkan dan diletakkan di
dalam sangkar yang tertutup danpintunya dapat dibuka secara otomatis apabila
kenop yang terletak di dalamsangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut
menghasilkan teori “trial anderror” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa
belajar itu terjadi dengancara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam
melaksanakan coba-cobaini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatanyang tidak mempunyai hasil. Setiap response menimbulkan
stimulus yangbaru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan response
lagi,demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:
S R
S1 R1 dst
Dalam percobaan tersebut
apabila di luar sangkar diletakkan makanan,maka kucing berusaha untuk
mencapainya dengan cara meloncat-loncatkian kemari. Dengan tidak tersengaja
kucing telah menyentuh kenop, makaterbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing
segera lari ke tempat makan.Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan
setelah kurang lebih 10sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja
menyentuh kenoptersebut apabila di luar diletakkan makanan.
2.2
Prinsip-Prinsip Belajar
Oleh Edward Lee Thorndik
Adapun Prinsip-Prinsip Belajar yang
Dikemukakan oleh Edward Lee Thorndik, yaitu :
1. Pada
saat seseorang berhadapan dengan situasi yang baru, berbagai respon yang ia
lakukan. Adapun respon-respon tiap-tiap individu berbeda-beda tidak sama
walaupun menghadapi situasi yang sama hingga akhirnya tiap individu mendapatkan
respon atau tindakan yang cocok dan memuaskan. Seperti contoh seseorang yang
sedang dihadapkan dengan problema keluarga maka seseorang pasti akan menghadapi
dengan respon yang berbeda-beda walaupun jenis situasinya sama, misalnya orang
tua dihadapkan dengan prilaku anak yang kurang wajar.
2. Dalam
diri setiap orang sebenarnya sudah tertanam potensi untuk mengadakan seleksi
terhadap unsur-unsur yang penting dan kurang penting, hingga akhirnya menemukan
respon yang tepat. Seperti orang yang dalam masa pekembangan dan menyongsong
masa depan maka sebenarnya dalam diri orang tersebut sudah menegetahui unsur
yang penting yang harus dilakukan demi mendapatkan hasil yang sesuai dengan
yang diinginkan.
3. Orang
cenderung memberikan respon yang sama terhadap situasi yang sama. Seperti
apabila seseorang dalam keadaan stress karena diputus oleh pacarnya dan ia
mengalami ini bukan hanya kali ini melainkan ia pernah mengalami kejadian yang
sama karena hal yang sama maka sudah barang tentu ia akan merespon situasi
tersebut seperti yang ia lakukan seperti dahulu yang ia lakukan.
2.3
Hukum Teori Koneksionisme
Dari percobaan
ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
1. Hukum Kesiapan (law of
readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan
tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan
kepuasanindividu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. Prinsip pertama teori
koneksionisme adalah belajar suatu kegiatanmembentuk asosiasi(connection)
antara kesan panca indera dengankecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa
senang atautertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan
cenderungmengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas
danbelajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.
Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika kecenderungan
bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak
akan melakukan tindakan lain. Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak,
tetapi ia tidak melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan
melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.Masalah
ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia
melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya,ia akan melakukan
tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
2. Hukum Latihan (law of
exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih (digunakan) ,
maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah
koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi
lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya
tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama
dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan
semakin dikuasai.
3. Hukum Akibat (law of
effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya
menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini
menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan.
Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan
lain kali akan diulangi. Sebaliknya,suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak
menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi. Koneksi antara kesan
panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah,
tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila
anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya,
ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.
Thorndike
berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan
yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada
binatang tanpa diperantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung
dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis(Suryobroto, 1984).Selanjutnya
Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:
a.
Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response).
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses trial dan
error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon
yang tepat dalam memecahkan masalahyang dihadapi.
b.
Hukum Sikap ( Set/ Attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya
ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan
keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif,emosi , sosial , maupun
psikomotornya.
c.
Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan
respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap
keseluruhan situasi (respon selektif).
d.
Hukum Respon by Analogy.
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi
yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan
situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami
sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke
situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
e.
Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting )
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke
situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan
sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyamapaian
teorinya thorndike mengemukakan revisi HukumBelajar antara lain :
1. Hukum latihan ditinggalkan
karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan
stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum
tentu diperlemah.
2. Hukum akibat direvisi.
Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah
laku adalah hadiah,sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
3. Syarat utama terjadinya
hubungan stimulus respon bukan kedekatan,tetapi adanya saling sesuai antara
stimulus dan respon.
4. Akibat suatu perbuatan
dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain. Teori koneksionisme
menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu kecakapan yang telah
diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain.
Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem
box-nya.
2.4
Kelebihan dan Kekurangan
Teori Koneksionisme
·
Kelebihan Teori
Koneksionisme
Dengan sering melakukan
pengulangan dalam memecahkan suatu permasalahan, anak didik akan memiliki
sebuah pengalaman yang berharga. Selain itu dengan adanya sistem pemberian
hadiah akan, membuat anak didik menjadi lebih memiliki kemauan dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapinya.
·
Kekurangan Teori
Koneksionisme
Kegiatan yang terlalu
sering dilakukan, akan membuat anak didik menjadi
merasa jenuh yang mungkin saja dapat mengakibatkan dia menjadi merasa
enggan untuk mencobanya lagi. Selain itu dengan adanya sistem
pemberian hadiah akan membuat sebuah ketergantungan pada anak didik
dalam melakukan sebuah kegiatan.
merasa jenuh yang mungkin saja dapat mengakibatkan dia menjadi merasa
enggan untuk mencobanya lagi. Selain itu dengan adanya sistem
pemberian hadiah akan membuat sebuah ketergantungan pada anak didik
dalam melakukan sebuah kegiatan.
2.5 Aplikasi
Teori Koneksionisme Terhadap Pembelajaran Siswa
Edward Lee Thorndike berpendapat,
cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan murid tahu apa yang telah
diajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak diajarkan. Dengan ini guru
harus mengerti materi apa yang hendak diajarkan, respon apa yang diharapkan dan
kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respons yang salah. Maka tujuan
pendidikan harus dirumuskan dengan jelas.
Tujuan pendidikan harus masih dalam
batas kemampuan belajar peserta didikan dan harus terbagi dalam unit-unit
sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacam-macam
situasi.Supaya peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus
bertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks.
Dalam belajar, motivasi tidak begitu
penting karena perilaku peserta didik terutama ditentukan oleh external rewards
dan bukan oleh intrinsic motivation.Yang lebih penting dari ini ialah adanya
respon yang benar terhadap stimulus.Bila peserta didikan melakukan respon yang
salah, harus segera diperbaiki, sebelum sempat diulang-ulang.Dengan demikian
ulangan yang teratur diperlukan sebagai kontrol bagi guru, untuk mengetahui
apakah peserta didik sudah melakukan respon yang benar atau belum terhadap
stimulus yang diberikan oleh guru.
Supaya guru mempunyai gambaran yang
jelas dan tidak keliru terhadap kemajuan anak, ulangan harus dilakukan dengan
mengingat hukum kesepian.Peserta didik yang sudah belajar dengan baik harus
segera diberi hadiah, dan bila belum baik harus segera diperbaiki.Situasi
belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam masyarakat
sebanyak mungkin, sehingga dapat terjadi transfer dari kelas ke lingkungan di
luar kelas.Materi pelajaran yang diberikan kepada peserta didik harus ada
manfaatnya untuk kehidupan anak kelak setelah keluar dari sekolah.
Dengan diberikannya
pelajaran-pelajaran yang sulit, yang melebihi kemampuan anak, tidak akan
meningkatkan kemampuan penalarannya. Sebagai
konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan
menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan
pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru
tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yng diikuti
contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran
disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Tujuan
pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu
ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur
dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan
digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang
diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu
perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif
dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau
penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
BAB III
KESIMPULAN
Koneksioisme merupakan suatu asosiasi
atas kesan panca indra dengan
impuls untuk bertindak, suatu hubungan dimana terjadi karena adanya suatu perbuatan bukan pengertian, yang sangat berpengaruh terhadap suatu respon terhadap sebuah stimulus, suatu hubungan dalam penelitian Thorndike bukan tepat pada hewan saja melainkan sangat cocok terhadap pelajar, yang menghubungkan serta menggabungkan beberapa respon dari
sebuah stimulus yang akhirnya timbulnya sebuah kesadaran.
impuls untuk bertindak, suatu hubungan dimana terjadi karena adanya suatu perbuatan bukan pengertian, yang sangat berpengaruh terhadap suatu respon terhadap sebuah stimulus, suatu hubungan dalam penelitian Thorndike bukan tepat pada hewan saja melainkan sangat cocok terhadap pelajar, yang menghubungkan serta menggabungkan beberapa respon dari
sebuah stimulus yang akhirnya timbulnya sebuah kesadaran.
Trial and error merupaka suatu usaha
yang positif dalam proses sebuah pembelajaran
yang berakhir dengan keberhasilan, apabila trial and error sudah tepat untuk dilakukan maka timbullah sebuah "respon yang tepat" maka hadiah, hukuman serta motivasi sangatlah berperan dalam stimulus dan respon. Suatu kesiapan, pelatihan serta pengaruh merupakan koneksionime
terhadap proses pembelajaran, dalam kesiapan tentunya ada kesiapan dantidak adanya kesiapan kalau segala sesuatu dipaksakan maka timbullah sesuatu yang sangat merugikan.
yang berakhir dengan keberhasilan, apabila trial and error sudah tepat untuk dilakukan maka timbullah sebuah "respon yang tepat" maka hadiah, hukuman serta motivasi sangatlah berperan dalam stimulus dan respon. Suatu kesiapan, pelatihan serta pengaruh merupakan koneksionime
terhadap proses pembelajaran, dalam kesiapan tentunya ada kesiapan dantidak adanya kesiapan kalau segala sesuatu dipaksakan maka timbullah sesuatu yang sangat merugikan.
DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin, Abdul Ghofur dkk. 1996 . Strategi Belajar Mengajar. CV Citra
Media : Surabaya.
Suryabrata, Sumadi . 1990 . Psikologi Pendidikan . Rajawali Pres : Jakarta.
Syah, Muhibbin . 1990 . Psikologi . Pt. logos Wacana Ilmu : Jakarta.
http://muna.staff.lainslatiga.ac.id/wpcontent/upload/side65/2014/09/teorikoneksionisme-rev.pdf
.( online). Di akses pada tanggal 30 Maret 2014.
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR.PEND..LUARSEKOLAH/197012101998022-IIPSARIPAH/TEORIPEMBELAJARAN.PDF.
( online ). Di akses pada tanggal 30 Maret 2014.
www.uny.ac.id/refleksigrup/sharefile/files.( online ).
Di akses pada tanggal 30 Maret 2014.
Langganan:
Postingan (Atom)