BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pengajaran identik dengan pendidikan. Proses pengajaran
adalah proses pendidikan. Setiap kegiatan pendidikan adalah untuk mencapai
tujuan pendidikan. Pengajaran adalah suatu proses aktivitas mengajar belajar,
di dalamnya terdapat dua obyek yang saling terlibat yaitu guru dan peserta
didik. Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat
fundamental dalam melaksanakan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Adanya
proses yang panjang dan tertata dengan rapi serta berjenjang akan memungkinkan
belajar menjadi lebih baik dan efisien.
Teori
belajar gestalt merupakan teori belajar yang di kembangkan oleh Max Wertheimer.
Max Wertheimer (1880-1943) seorang yang dipandang sebagai pendiri dari
Psikologi Gestalt, ia bekerjasama dengan dua temannya, yaitu Kurt Koffka
(1886-1941) dan Wolfgang Kohler (1887-1967). Sedangkan teori medan digagas oleh
Kurt Lewin. Teori ini bersama-sama dengan teori-teori belajar Gestalt lainnya
telah menurunkan model-model pembelajaran terbaru dalam Model Pembelajaran
Interaksi Sosial. Secara spesifik bahkan teori ini telah dikembangkan dalam
Model Pembelajaran Kontekstual (CTL) dimana materi ajar yang disampaikan disesuaikan
dengan situasi lingkungan dimana siswa berada.
Dalam makalah
ini akan dibahas secara ringkas mengenai teori belajar gestalt dan teori medan
kognisi yang keduanya saling berhubungan satu sama lain.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Apa pengertian dari teori belajar Gestalt?
2.
Apa pengertian dari teori medan
kognitif?
1.3 Tujuan Penyusunan Makalah
Tujuan dari penyusunan makalah ialah
sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui dan memahami teori
belajar Gestalt.
2.
Untuk mengetahui dan memahami teori
medan kognitif.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Teori Gestalt
Teori Gestalt diperkenalkan oleh
Frederick (Fritz) Salomon Perls (1983-1970). Gestalt dalam bahasa Jerman
mempunyai arti bentuk, wujud atau organisasi. Kata itu mengandung pengertian
kebulatan atau keparipurnaan (schultz, 1991:171). Simkin dalam (Gilliland,
1989: 92) menyatakan bahwa kata Gestalt mempunyai makna keseluruhan (whole)
atau konfigurasi (configuration). Psikologi
Gestalt merupakan salah satu aliran psikologi yang mempelajari suatu gejala
sebagai suatu keseluruhan atau totalitas, data-data dalam psikologi Gestalt
disebut sebagai phenomena (gejala). Phenomena adalah data yang paling dasar
dalam Psikologi Gestalt. Dalam hal ini Psikologi Gestalt sependapat dengan
filsafat phenomonologi yang mengatakan bahwa suatu pengalaman harus dilihat
secara netral. Dalam suatu phenomena terdapat dua unsur yaitu obyek dan arti.
Obyek merupakan sesuatu yang dapat dideskripsikan, setelah tertangkap oleh
indera, obyek tersebut menjadi suatu informasi dan sekaligus kita telah
memberikan arti pada obyek itu.
Gestalt adalah sebuah teori yang
menjelaskan proses persepsi melalui pengorganisasian komponen-komponen sensasi
yang memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt
beroposisi terhadap teori strukturalisme. Teori gestalt cenderung berupaya
mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian kecil. Teori ini
dibangun oleh tiga orang, Kurt Koffka, Max Wertheimer, and Wolfgang Köhler.
Mereka menyimpulkan bahwa seseorang cenderung mempersepsikan apa yang terlihat
dari lingkungannya sebagai kesatuan yang utuh.
2.1.1 Tokoh Teori Gestalt
1.
Max
Wertheimer (1880-1943)
Wertheimer dianggap sebagai pendiri
teori Gestalt setelah dia melakukan eksperimen dengan menggunakan alat yang
bernama stroboskop, yaitu alat yang berbentuk kotak dan diberi suatu alat untuk
dapat melihat ke dalam kotak itu. Di dalam kotak terdapat dua buah garis yang
satu melintang dan yang satu tegak. Kedua gambar tersebut diperlihatkan secara
bergantian, dimulai dari garis yang melintang kemudiangaris yang tegak, dan
diperlihatkan secara terus menerus. Kesan yang muncul adalah garis tersebut
bergerak dari tegak ke melintang. Gerakan ini merupakan gerakan yang semu
karena sesungguhnya garis tersebut tidak bergerak melainkan dimunculkan secara
bergantian. Pada tahun 1923, Wertheimer mengemukakan hukum-hukum Gestalt dalam
bukunya yang berjudul “Investigation of Gestalt Theory”. Hukum-hukum itu antara
lain :
·
Hukum Kedekatan (Law of
Proximity)
·
Hukum Ketertutupan (
Law of Closure)
·
Hukum Kesamaan (Law of
Equivalence)
2.
Kurt
Koffka (1886-1941)
Jejak ingatan (memory traces),
adalah suatu pengalaman yang membekas di otak. Jejak-jejak ingatan ini
diorganisasikan secara sistematis mengikuti prinsip-prinsip Gestalt dan akan
muncul kembali kalau kita mempersepsikan sesuatu yang serupa dengan jejak-jejak
ingatan tadi.
Perjalanan waktu berpengaruh
terhadap jejak ingatan. Perjalanan waktu itu tidak dapat melemahkan, melainkan
menyebabkan terjadinya perubahan jejak, karena jejak tersebut cenderung
diperhalus dan disempurnakan untuk mendapat Gestalt yang lebih baik dalam
ingatan. Latihan yang terus menerus akan memperkuat jejak ingatan.
3.
Wolfgang
Kohler (1887-1967)
Menurut Kohler apabila organisme
dihadapkan pada suatu masalah atau problem, maka akan terjadi ketidakseimbangan
kogntitif, dan ini akan berlangsung sampai masalah tersebut terpecahkan. Karena
itu, menurut Gestalt apabila terdapat ketidakseimbangan kognitif, hal ini akan
mendorong organisme menuju ke arah keseimbangan. Dalam eksperimennya Kohler
sampai pada kesimpulan bahwa organisme –dalam hal ini simpanse– dalam
memperoleh pemecahan masalahnya diperoleh dengan pengertian atau dengan insight.
2.1.2 Hukum-hukum Belajar Gestalt
Dalam hukum-hukum belajar Gestalt
ini ada satu hukum pokok , yaitu hukum Pragnaz, dan empat hukum tambahan
(subsider) yang tunduk kepada hukum yang pokok itu, yaitu hukum–hukum
keterdekatan, ketertutupan, kesamaan, dan kontinuitas.
Hukum Pragnaz ini menunjukkan tentang
berarahnya segala kejadian, yaitu berarah kepada Pragnaz itu, yaitu suatu
keadaan yang seimbang, suatu Gestalt yang baik. Gestalt yang baik,
keadaan yang seimbang ini mencakup sifat-sifat keturunan, kesederhanaan, kestabilan,
simetri dan sebagainya. Medan pengamatan, jadi juga setiap hal yang dihadapi
oleh individu, mempunyai sifat dinamis, yaitu cendrung untuk menuju keadaan
Pragnaz itu, keadaan seimbang. Keadaan yang problematis adalah keadaan yang
tidak Pragnaz, tidak teratur, tidak sederhana, tidak stabil, tidak simetri, dan
sebagainya dan pemecahan problem itu ialah mengadakan perubahan kedalam
struktur medan atau hal itu dengan memasukkan hal-hal yang dapat membawa
hal problematis ke sifat Pragnaz.
Suatu hukum yang terkenal dari
teori Gestalt yaitu hukum Pragnanz, yang kurang lebih berarti teratur,
seimbang, simetri, dan harmonis. Untuk menemukan Pragnanz diperlukan adanya
pemahaman atau insight, menurut Ernest hilgard ada enam ciri dari belajar
pemahaman ini yaitu :
1) Pemahaman dipengaruhi oleh kemampuan dasar.
2) Pemahaman dipengaruhi oleh pengalaman belajar yang lalu yang relevan.
3) Pemahaman tergantung kepada pengaturan situasi, sebab insight itu hanya
mungkin terjadi apabila situasi belajar itu diatur sedemikian rupa sehingga
segala aspek yang perlu dapat diamati.
4) Pemahaman didahului oleh usaha coba-coba, sebab insight bukanlah hal
yang dapat jatuh dari langit dengan sendirinya, melainkan adalah hal yang harus
dicari.
5) Belajar dengan pemahaman dapat diulangi, jika sesuatu problem yang telah
dipecahkan dengan insight lain kali diberikan lagi kepada pelajar yang
bersangkutan, maka dia dengan langsung dapat memecahkan problem itu lagi.
6) Suatu pemahaman dapat diaplikasikan atau dipergunakan bagi pemahaman
situasi lain.
Selain itu ada empat
hukum tambahan (subside) yang tunduk kepada hukum pokok, yaitu:
1. Hukum
keterdekatan
Hal-hal
yang saling berdekatan dalam waktu atau tempat cenderung dianggap sebagai suatu
totalitas.
2. Hukum
ketertutupan
Hal-hal
yang cenderung menutup akan membentuk kesan totalitas tersendiri.
3. Hukum
kesamaan
Hal-hal
yang mirip satu sama lain, cenderung kita persepsikan sebagai suatu kelompok
atau suatu totalitas. Contohnya :
O
O O O O O O O O O O O O
X
X X X X X X X X X X X X
O
O O O O O O O O O O O O
Deretan
bentuk di atas akan cenderung dilihat sebagai deretan-deretan mendatar dengan
bentuk O dan X berganti-ganti bukan dilihat sebagai deretan-deretan tegak.
4. Hukum
kontinuitas
Orang
akan cenderung mengasumsikan pola kontinuitas pada obyek-obyek yang ada.
2.1.3 Prinsip Teori Gestalt
Teori
gestalt memiliki beberapa prinsip, antara lain yaitu:
1)
Interaksi
antara individu dan lingkungan disebut sebagai perceptual field. Setiap
perceptual field memiliki organisasi, yang cenderung dipersepsikan oleh manusia
sebagai figure and ground. Oleh karena itu kemampuan persepsi ini merupakan
fungsi bawaan manusia, bukan skill yang dipelajari. Pengorganisasian ini
mempengaruhi makna yang dibentuk.
2)
Prinsip-prinsip
pengorganisasian:
·
Principle of
Proximity
Bahwa
unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang
pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
·
Principle of
Similarity
Bahwa
unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan
dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
·
Principle of Objective Set
Organisasi berdasarkan mental set
yang sudah terbentuk sebelumnya.
·
Principle of Continuity
Organisasi berdasarkan kesinambungan
pola.
·
Principle of Closure/ Principle of
Good Form
Bahwa orang cenderung akan mengisi
kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
·
Principle of Figure and Ground
Yaitu menganggap bahwa setiap bidang
pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warnadan sebagainya
membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, makaakan terjadi kekaburan
penafsiran antara latar dan figure. Contoh:
perubahan nada tidak akan merubah persepsi tentang melodi.
·
Principle of Isomorphism
Organisasi berdasarkan konteks.
2.1.4 Aplikasi Teori Belajar Gestalt
1)
Belajar
Proses belajar adalah fenomena kognitif.
Apabila individu mengalami proses belajar, terjadi reorganisasi dalam
perceptual fieldnya. Setelah proses belajar terjadi, seseorang dapat memiliki
cara pandang baru terhadap suatu problem. Aplikasi teori Gestalt dalam proses
pembelajaran antara lain :
a. Pengalaman
tilikan (insight)
Bahwa tilikan memegang peranan yang
penting dalam perilaku yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam
suatu obyek atau peristiwa.
b. Pembelajaran
yang bermakna (meaningful learning)
Kebermaknaan unsur-unsur yang terkait
akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna
hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari.
c. Perilaku
bertujuan (purposive behavior)
Bahwa perilaku terarah pada tujuan.
Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada
keterkaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan
berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh
karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran
dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
d. Prinsip
ruang hidup (life space)
Bahwa perilaku individu memiliki
keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang
diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan
kehidupan peserta didik.
e. Transfer
dalam Belajar
Yaitu pemindahan pola-pola perilaku
dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt,
transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu
konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi
konfigurasi lain dalam tatasusunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya
penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian
menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi
apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu
persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan
masalah dalam situasi lain.
2)
Insight
Pemecahan
masalah secara jitu yang muncul setelah adanya proses pengujian berbagai
dugaan/kemungkinan. Setelah adanya pengalaman insight, individu mampu
menerapkannya pada problem sejenis tanpa perlu melalui proses trial-error lagi.
Konsep insight ini adalah fenomena penting dalam belajar, ditemukan oleh Kohler
dalam eksperimen yang sistematis. Timbulnya insight pada individu tergantung
pada :
a. Kesanggupan
Kesanggupan berkaitan dengan kemampuan
inteligensi individu.
b. Pengalaman
Dengan belajar, individu akan
mendapatkan suatu pengalaman dan pengalaman itu akan menyebabkan munculnya
insight.
c. Taraf
kompleksitas dari suatu situasi
Semakin kompleks masalah akan semakin
sulit diatasi.
d. Latihan
Latihan yang banyak akan mempertinggi
kemampuan insight dalam situasi yang bersamaan.
e. Trial
and Error
Apabila seseorang tidak dapat memecahkan
suatu masalah, seseorang akan melakukan percobaan-percobaan hingga
akhirnya menemukan insight untuk memecahkan masalah tersebut.
3)
Memory
Hasil
persepsi terhadap obyek meninggalkan jejak ingatan. Dengan berjalannya waktu,
jejak ingatan ini akan berubah pula sejalan dengan prinsip-prinsip
organisasional terhadap obyek. Penerapan Prinsip of Good Form seringkali muncul
dan terbukti secara eksperimental. Secara sosial, fenomena ini juga menjelaskan
pengaruh gosip/rumor. Fenomena gossip seringkali berbeda dengan fakta yang ada.
Fakta yang diterima sebagai suatu informasi oleh seseorang kemudian diteruskan
kepada orang lain dengan dengan dilengkapi oleh informasi yang relevan walaupun
belum menjadi fakta atau belum diketahui faktanya.
2.2 Teori Medan Kognitif
2.2.1 Biografi
Kurt Lewin
Kurt
Lewin (1890-1947) di sebut-sebut sebagai Bapak Psikologi Sosial karena buah
karya dan pemikiran-pemikirannya yang memiliki dampak yang mendalam terhadap
psikologi sosial terutama dalam masalah dinamika kelompok dan penelitian
tindakan. Namun demikian, buah karya dan pemikirannya tersebut juga sangat
relevan bagi para pendidik dalam dunia pendidikan. Kurt Lewin lahir pada
tanggal 9 September 1890 di desa Mogilno di Prusia (sekarang bagian dari
Polandia). Dia adalah anak ke-dua dari empat bersaudara. Dia dibesarkan dalam
keluarga Yahudi kelas menengah. Ayahnya memiliki sebuah toko kelontong kecil
dan pertanian. Mereka pindah ke Berlin ketika ia berusia 15 dan dia terdaftar
di Gymnasium. Pada tahun 1909 Kurt Lewin memasuki Universitas Frieberg untuk
belajar kedokteran. Dia kemudian dipindahkan ke Universitas Munich untuk
belajar biologi. Saat menjadi mahasiswa, ia mulai banyak terlibat dalam
pergerakan kaum sosialis. Perhatiannya pada masalah-masalah pergerakan sosial
muncul dan mendorongnya untuk berperan serta dalam memerangi anti-Semitisme,
menuntut demokratisasi bagi institusi Jerman, dan perbaikan bagi hak-hak kaum
perempuan. Bersama dengan rekan-rekan mahasiswanya, ia mengorganisasikan diri
untuk memberi pengajaran pada program pendidikan orang dewasa yaitu kelas para
pekerja perempuan dan laki-laki.
Gelar
doktornya diambilnya di Universitas Berlin di mana ia mengembangkan minat dalam
bidang filsafat ilmu dan psikologi Gestalt. Gelar Ph.D. nya diberikan pada
1916, tapi pada saat itu ia sedang mengabdi pada militer Jerman. Dia bahkan
terluka dalam pertempuran. Pada tahun 1921 Kurt Lewin bergabung dalam Institusi
psikologi pada Universitas Berlin. Disana ia mengajar dan mengadakan
seminar-seminar dalam bidang filsafat dan psikologi. Dia merupakan dosen yang
antusias yang menarik minat para mahasiswa. Namanya mulai dikenal baik dalam
dunia akademisi maupun publisistik. Karyanya menjadi dikenal di Amerika dan dia
diundang selama satu semester sebagai profesor tamu di Stanford pada tahun
1930.
Pada
tahun 1933 karena pertimbangan politik yang semakin memburuk di Jerman ia dan
istrinya juga anak perempuan mereka menetap di Amerika Serikat dan menjadi
warga negara Amerika pada tahun 1940. Pada 1933 Kurt Lewin untuk pertama kali
bekerja di Sekolah Ekonomi Cornell Home dan pada tahun 1935 ia mengajar di
University of Iowa. Pada tahun yang sama, koleksi paper pertamanya dalam Bahasa
Inggris yaitu A Dynamic Theory of Personality diterbitkan. Di Iowa ia terus
mengembangkan minatnya dalam bidang sosial dan melakukan penelitian di daerah
itu. University Iowa tetap menyimpan data base Kurt Lewin sampai tahun 1944.
Sejak
tahun 1940, Kurt Lewin terlibat secara signifikan dalam berbagai inisiatif
penelitian terapan terkait dengan masalah perang. Hal ini termasuk menjelajahi
moral pasukan tempur, perang psikologis, dan reorientasi ketiadaan konsumsi
makanan saat pasokan makanan sedikit. Komitmen sosialnya senantiasa kuat dan ia
banyak diminta menjadi pembicara masalah-masalah minoritas dan hubungan
antar-kelompok tersebut. Dia ingin sekali mendirikan sebuah pusat penelitian
bagi dinamika-dinamika kelompok dan pada tahun 1944 mimpi ini terwujud dengan
didirikannya Pusat Penelitian Dinamika Kelompok di Massachussetts Institut of
Technology (MIT). Pada saat yang sama, Kurt Lewin juga terlibat dalam sebuah
proyek untuk Kongres Yahudi Amerika di New York yakni Komisi antar-hubungan
Masyarakat. Hal itu membuat penelitian tindakan (penelitian yang diarahkan pada
penyelesaian masalah sosial) model Lewin digunakan dalam sejumlah studi yang
signifikan terkait prasangka agama dan ras. Alhasil, pada tahun 1946,
penanganan proyek ini telah membuahkan karya bersama para tokoh dan pemimpin
masyarakat juga para fasilitator kelompok. Dia dan rekan-rekannya bisa mendapatkan
dana dari kantor Naval Research untuk mendirikan Laboratorium Pelatihan
Nasional pada tahun 1947 di Bethel, Maine. Namun, Lewin meninggal karena
serangan jantung di Newtonville, Massachussetts dalam usia 56 tahun pada
tanggal 11 Februari, 1947 sebelum Laboratorium didirikan.
2.2.2 Konstruksi Dasar Teori Medan
Kognitif
Teori
Medan atau Field Theory, merupakan salah satu teori yang termasuk rumpun
Cognitive-Gestalt-Field. Teori ini sama dengan Gestalt menekankan keseluruhan
dan kesatupaduan. Sebagai langkah awal, penting sekali mengenali pondasi yang
mengkonstruksi teori ini. Keseluruhan itu berbeda dari penjumlahan
bagian-bagiannya atau membagi-bagi berarti mendistorsi. Kita tidak akan dapat
memahami atau menikmati pengalaman mendengarkan simfoni musik orchestra dengan
menganalisa konstribusi musisi-musisi yang bermain di dalamnya secara terpisah.
Pada pokoknya, teori ini selalu memberi penekanan pada totalitas atau keseluruhan,
bukan pada bagian-bagian.
Berbeda
dengan kaum behavioral yang berpendapat bahwa belajar adalah pengalaman
empiris, maka menurut Gestaltis belajar adalah fenomena kognitif. Kognisi
sendiri dipahami sebagai proses mental karena kognisi mencerminkan pemikiran
dan tidak dapat diamati secara langsung. Oleh sebab itu belajar merupakan
proses mental dan aspek-aspek belajar adalah unik bagi spesies manusia.
Ahli-ahli
Gestalt termasuk Kurt Lewin juga beranggapan bahwa benda-benda hidup berbeda
dengan mesin, selalu hidup dan saling mempengaruhi dengan lingkungannya.
Interaksi antara individu dan lingkungan disebut sebagai perceptual field
(medan persepsi). Setiap medan persepsi memiliki organisasi, yang cenderung
dipersepsikan oleh manusia sebagai figure and ground. Oleh karena itu, teori
ini menekankan adanya pengorganisasian proses-proses dalam persepsi, belajar
dan problem solving dan juga mempercayai bahwa setiap individu diarahkan untuk
mengorganisasikan serpihan informasi yang bersumber dari beragam cara atau
proses. Pengorganisasian inilah yang kemudian mempengaruhi makna yang dibentuk.
Gestaltis
juga menganut pandangan yang berbeda dalam memandang problem tubuh-pikiran.
Mereka mengasumsikan adanya Isomorphism yakni adanya hubungan antara aktivitas
otak dengan kesadaran, antara pengalaman psikologis dengan proses yang ada di
dalam otak. Gestaltis berkali-kali menyatakan pendapatnya bahwa dunia fenomenal
(kesadaran) adalah ekspresi yang akurat dari situasi. Kesadaran pula yang
menjadikan semua informasi sensoris menjadi bermakna.
Dalam
kaitannya dengan pokok-pokok teori belajar menurut aliran Gestalt, disamping
hukum-hukum pengamatan yang menentukan proses belajar, menurut aliran ini
insight adalah inti dari belajar. Insight dapat diartikan pemahaman atau
pencerahan sehingga seorang pelajar dapat menyelesaikan problem maupun tugas
belajar. Maka menurut aliran ini, remedial atau pengulang-ulangan materi bukan
hal penting walaupun belajar dengan insight dapat juga diulangi. Contoh:
pengulang-ulangan dalam melakukan latihan soal-soal UN membuat siswa mungkin
dapat menjawab soal saat ujian berlangsung namun belum tentu dia memahami
subtansi soal sehinga bila soal berbeda dengan rumus yang sama belum tentu dia
dapat menyelesaikannya. Belajar dengan insight membuat siswa memahami subtansi
masalah hingga bila soal diulang dalam format berbeda ia masih dapat
menyelesaikannya.
2.2.3 Teori Medan Kognitif
Menurut
Kurt Lewin perilaku ditentukan oleh totalitas situasi yang melingkupi
seseorang. Dalam teori medannya, 'lapangan' didefinisikan sebagai the totality
of coexisting facts which are conceived of as mutually interdependent
(totalitas fakta-fakta yang mengiringi dan dipahami saling tergantung atau
terkait satu dengan yang lainnya). Setiap individu berperilaku berbeda sesuai dengan
persepsi diri dan lingkungannya bekerja. Medan psikologis atau lifespace, di
mana orang berperilaku harus ditinjau, dalam rangka memahami perilaku itu
sendiri. Penilaian seseorang berdasar persepsi diri dan aspek lingkungan yang
mendukungnya ini disebabkan karena otak adalah sistem fisik, otak menciptakan
medan yang memengaruhi informasi yang masuk ke dalamnya, seperti medan magnet
memengaruhi partikel logam. Medan kekuatan inilah yang mengatur pengalaman
sadar.
Kurt
Lewin (1892-1947) menaruh perhatian pada kepribadian dan psikologi sosial.
Lewin memandang bahwa masing-masing individu berada di dalam suatu medan
kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis dimana individu
bereaksi disebut sebagai ”Life Space”. Life Space mencakup perwujudan
lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya: orang-orang yang ia jumpai,
objek material yang ia hadapi, serta fungsi-fungsi kejiwaan yang ia miliki.
Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil tindakan antar
kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam diri individu seperti; tujuan,
kebutuhan, tekanan kejiwaan maupun dari luar diri individu, seperti; tantangan
dan permasalahan.
Dalam
medan hidup ini ada sesuatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi untuk mencapainya
selalu ada barier atau hambatan. Individu memiliki satu atau sejumlah dorongan
dan berusaha mengatasi hambatan untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila
individu telah berhasil mencapai tujuan, maka ia masuk ke dalam medan atau
lapangan psikologis baru yang di dalamnya berisi tujuan baru dengan
hambatan-hambatan yang baru pula. Demikian seterusnya individu keluar dari
suatu medan dan masuk ke medan psikologis berikutnya.
Hall dan
Lindzey merangkum poin utama Teori Medan Kognitif Lewin sebagai berikut:
1. Perilaku adalah fungsi dari medan
yang ada pada saat perilaku tersebut terjadi.
2. Analisa tingkah laku dimulai dengan
situasi sebagai keseluruhan dari komponen-komponen tingkah laku yang terpisah
dan berbeda.
3. Individu yang konkret dalam sebuah
situasi nyata (konkret) dapat digambarkan secara matematis.
Dalam
teori ini, individu dan kelompok dapat dilihat dalam kacamata topologi
(menggunakan peta sebagai representasi). Individu berpartisipasi dalam
serangkaian ruang hidup seperti, keluarga, sekolah, kerja, masjid dan ini
dibangun di bawah pengaruh berbagai vektor. Tingkah laku atau gerak seseorang
akan terjadi kalau ada kekuatan yang cukup yang mendorongnya. Meminjam dari
matematika dan fisika, Lewin menyebut kekuatan itu dengan nama Vektor. Vektor
digambar dalam bentuk panah, merupakan kekuatan psikologis yang mengenai
seseorang, cenderung membuatnya bergerak ke arah tertentu. Arah dan kekuatan
vektor adalah fungsi dari valensi positif dan negatif dari satu atau lebih
region dalam lingkungan psikologis. Jadi kalau satu region mempunyai valensi
positif misalnya berisi makanan yang diinginkan, vektor yang mengarahkan ke
region itu mengenai lingkaran pribadi. Kalau region yang kedua valensinya
negatif misal berisi anjing yang menakutkan, vektor lain yang mengenai
lingkaran pribadi mendorong menjauhi region anjing. Jika beberapa vektor
positif mengenai dia, misalnya, jika seseorang dalam kondisi sulit dan lapar
sementara makanan harus disiapkan, atau orang harus hadir dalam pertemuan
penting sedang ia tidak punya waktu untuk makan siang, hasil gerakannya (tingkah
lakunya) merupakan jumlah dari semua vektor.
Kurt
Lewin melihat needs (kebutuhan) sebagai kekuatan yang mendasar yang menentukan
perilaku fisiologis dan inilah yang disebut deskripsi fisik dari medan. Dalam
teori ini kita juga bisa melihat bagaimana Kurt Lewin berpertautkan pemahaman
dari topologi (lifespace misalnya), psikologi (kebutuhan, aspirasi), dan
sosiologi (misalnya medan gaya-motif yang jelas tergantung pada tekanan
kelompok). Ketiganya saling berhubungan dalam sebuah tingkah laku. Intinya,
teori medan merupakan sekumpulan konsep dimana seseorang dapat menggambarkan
kenyataan psikologis.
Konsep-konsep
teori medan telah diterapkan Lewin dalam berbagai gejala psikologis dan
sosiologis, termasuk tingkah laku bayi dan anak anak , masa adolesen,
keterbelakangan mental, masalah-masalah kelompok minoritas, perbedaan perbedan
karakter nasional dan dinamika kelompok.
2.2.4 Penggunaan Teori Medan dalam
Belajar
1. Belajar
sebagai perubahan sistem kognitif
Teori
Medan (Field Theory) Lewin mengemukakan bahwa siswa dalam situasi belajar
berada dalam satu medan atau lapangan psikologis. Dalam situasi belajar siswa
menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan
yaitu mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hanbatan
itu yaitu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan itu telah
diatasi, artinya tujuan belajar telah tercapai, maka ia akan masuk ke dalam
medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya.
Menurut
teori ini belajar berusaha mengatasi hambatan-hambatan untuk mencapai tujuan.
Kurikulum sekolah dengan segala macam tuntutannya, berupa kegiatan belajar di
dalam kelas, laboratorium, di workshop, di luar sekolah, penyelesaian
tugas-tugas, ujian-ulangan dan lain-lain, pada dasarnya merupakan hambatan yang
harus diatasi.
Menurut
Lewin belajar terjadi akibat adanya perubahan struktur kognitif. Perubahan
kognitif adalah hasil dari dua macam kekuatan yaitu struktur medan kognitif dan
motivasi internal individu. Apabila seseorang belajar, maka dia akan tambah
pengetahuannya. Artinya tahu lebih banyak dari pada sebelum ia belajar. Ini
berarti ruang hidupnya lebih terdiferensiasi, lebih banyak subregion yang
dimilikinya, yang dihubungkan dengan jalur-jalur tertentu. Dengan kata lain
orang tahu lebih banyak tentang fakta-fakta dan saling berhubungan antara
fakta-fakta itu.
Perubahan
struktur pengetahuan (struktur kognitif) dapat terjadi karena ulangan; situasi
mungkin perlu diulang-ulang sebelum strukturnya berubah. Akan tetapi yang
penting bukanlah bahwa ulangan itu terjadi, melainkan bahwa struktur kognitif
itu berubah. Dengan pengaturan masalah (problem) yang lebih baik, struktur
mungkin dapat berubah dengan ulangan yang sangat sedikit. Hal ini telah
terbukti dalam ekserimen mengenai insight. Terlalu banyak ulangan tidak
menambah belajar; sebaliknya ulangan itu mungkin menyebabkan kejenuhan
psikologis (pychological satiation) yang dapat membawa disorganisasi
(kekacauan) dan dediferensiasi (kekaburan ) dalam sistem kognitif.
Perubahan
dalam struktur kognitif ini untuk sebagian berlangsung dengan prinsif pemolaan
(patterning) dalam pengamatan, jadi disinilah lagi terbukti betapa pentingnya
pengamatan itu dalam belajar. Perubahan itu disebabkan oleh kekuatan yang telah
intrinsik ada dalam struktur kognitif. Tetapi struktur kognitif itu juga
berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan yang ada pada individu. Disinilah terjadi
belajar dengan motivasi.
2. Hadiah
dan Hukuman menurut Kurt Lewin
Bila
kaum Behavioral memandang hadiah dan hukuman sebagai The Law of Effect and The
Law of Reinforcement, maka Kurt Lewin menggambarkan situasi yang mengandung
hadiah atau hukuman sebagai situasi yang mengandung konflik. Hal ini
digambarkannya dalam topologi berikut:
a. Situasi yang mengandung hukuman
Di dalam situasi yang digambarkan di
atas, pribadi (P) harus melakukan pekerjaan atau tugas yang tidak menyenangkan
(Tg), karenanya ada kebutuhan untuk meninggalkan tugas yang tidak menyenangkan
itu. Supaya ia tetap mengerjakan tugas itu, ada ancaman hukuman bila ia tidak
menyelesaikan tugas tersebut (Hk). Sehingga dalam situasi seperti ini lalu
timbul konflik, yaitu si pribadi harus memilih diantara dua kemungkinan yang
tidak menyenangkan tersebut. Dalam situasi ini, malah ada kecenderungan pribadi
menghindarkan diri dari kedua kondisi yang tidak menyenangkan dirinya. Supaya
pribadi tidak meninggalkan medan itu maka harus dibuat barier (B); barier dalam
kehidupan nyata adalah kekuasaan atau pengawasan.
b. Situasi yang mengandung hadiah
Dalam situasi yang mengandung
hadiah, pribadi tidak perlu dimasukkan dalam tembok pengawasan seperti yang
digambarkan pada topologi yang mengandung hukuman, karena sifat menariknya
hadiah akan menahan pribadi untuk tetap berada dalam medan. Akan tetapi barier
(B) tetap diperlukan untuk mencegah supaya pribadi jangan sampai memperoleh
hadiah secara langsung tanpa mengerjakan tugas yang seharusnya dikerjakan.
Pengawasan dalam situasi ini masih diperlukan karena hadiah (Hd) berhubungan
dengan aktivitas menjalankan tugas (Tg) secara eksternal, maka selalu ada
kecenderungan untuk mencari jalan lebih singkat bahkan bila mungkin mendapatkan
hadiah tanpa mengerjakan tugasnya.
3.Masalah
berhasil dan gagal
Kurt Lewin lebih setuju penggunaan
istilah sukses dan gagal dari pada istilah hadiah dan hukuman. Sebab apabila
tujuan-tujuan yang akan kita capai itu adalah intrinsik, maka kita lebih tepat
menggunakan istilah berhasil atau gagal daripada terminologi hadiah dan
hukuman. Istilah hadiah dan hukuman lebih dekat pada pendekatan nonpsikologis
sedang istilah sukses dan gagal merupakan kajian dalam pendekatan psikologis.
Secara psikologis yang penting memang adalah bagaimana yang dialami individu
dalam menghadapi suatu problem. Suatu pengalaman sukses haruslah dimengerti
sesuai dengan apa yang telah dikerjakan atau dicapai oleh seseorang (pelajar).
Misalnya seorang pelajar yang merasa sukses karena naik kelas dengan nilai
terbaik. Namun ada pula yang tetap merasa sukses karena ia naik kelas walau
tidak dengan nilai terbaik.
4. Sukses memberi mobilisasi energi
cadangan
Kurt
Lewin beranggapan bahwa dinamika kepribadian itu dikarenakan oleh adanya energi
dalam diri seseorang yang disebut energi psikis. Energi psikis inilah yang
dipergunakan untuk berbagai aktivitas seperti mengamati, mengingat, berpikir
dan sebagainya. Dalam keadaan sehari-hari, hanya sedikit saja energi psikis
yang dipergunakan dan sisanya tersimpan sebagai energy cadangan. Apabila orang
mendapat pengalaman sukses, maka akan terjadi mobilisasi energi cadangan
sehingga kemampuan individu untuk menyelesaikan problem bertambah. Oleh sebab
itu secara praktis sangat dianjurkan untuk sebanyak mungkin memberikan
kesempatan kepada para peserta didik kita supaya mereka mendapatkan pengalaman
sukses.
2.2.5 Evaluasi konsep Medan kognitif
Kritik
terhadap teori Lewin dapat dikelompokkan dalam 5 topik yaitu :
1. Lewin tidak mengelaborasi pengaruh
lingkungan luar atau lingkungan obyektif, memang dikemukakan sifat bondaris
antara lingkungan psikologis dengan lingkungan obyektif yang permenable, namun
hal ini tidak diikuti oleh penjelasan dinamika bagaimana lingkungan luar itu
mempengaruhi region-region atau menjadi region baru.
2. Lewin kurang memperhatikan sejarah
individu pada masa lalu sebagai penentu tingkah laku. Ini merupakan resiko
teori yang mementingkan masa kini dan masa yang akan datang. Teori ini juga
terlalu bersibuk diri dengan aspek-aspek yang mendalam dari kepribadian
sehingga mengabaikan tingkah laku motoris yang nampak dari luar.
3. Lewin menyalahgunakan konsep ilmu
alam dan konsep matematika. Memang tidak mudah memahami jiwa dengan memakai
rumus-rumus matematika. Bahkan Lewin berani mengambil resiko dengan memakai
istilah-istilah dalam matematika dan fisika untuk dipakai dalam psikologi
dengan makna yang sangat berbeda dengan makna aslinya.
4. Penggunaan konsep-konsep topologi
telah menyimpang dari arti sebenarnya. Penggambaran topologis dan vaktorial
dari Lewin tidak mengungkapkan sesuatu yang baru tentang tingkah laku.
5. Banyak konsep dan konstruk yang
tidak didefinisikan secara jelas sehingga memberikan arti yang kabur.
2.2.6 Implikasi
1.
Bila teori-teori Behavioral menurunkan strategi belajar yang inovatif, dengan
pengkondisian dan rekayasa lingkungan, maka kaum gestaltian dan kognitivisme
mendekatkan kita pada strategi belajar inquiri (penemuan).
2.
Belajar adalah proses mental karena itu menurut gagasan ini, belajar adalah
memuaskan secara personal dan tidak perlu didorong-dorong oleh penguatan
eksternal. Kelas yang berorientasi gestalt akan dicirikan oleh hubungan memberi
dan menerima antara murid dengan guru.
3.
Bila dalam teori Thorndike belajar dan memahami terjadi secara bertahap atau
incremental, dalam teori ini belajar harus melalui insight.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa teori belajar Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi melalui pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan.
Teori ini dapat diaplikasikan kedalam
pembelajaran melalui beberapa langkah, antara lain: pengalaman tilikan, pembelajaran
yang bermakna, perilaku bertujuan dan prinsip
ruang hidup. Dengan
demikian teori ini dapat diterapkan secara efektif dalam pembelajaran di
sekolah maupun di universitas.
Sedangkan teori medan (field theory) merupakan salah satu teori yang termasuk rumpun
Cognitive-Gestalt-Field. Teori ini sama dengan Gestalt menekankan keseluruhan
dan kesatupaduan. Sebagai langkah awal, penting sekali mengenali pondasi yang
mengkonstruksi teori ini.
3.2 Saran
1.
Dalam kelas yang berorientasi Gestalt, atensi
(pengamatan) merupakan hal pokok untuk belajar, karena itu langkah pertama guru
dalam pembelajaran hendaknya mencari upaya agar perhatian siswa tertuju padanya
antara lain dengan cara: menampilkan topik-topik menarik, guru sering-sering
mengajukan pertanyaan penyela ditengah-tengah pembahasan, menyegerakan waktu
istirahat, memanej tempat duduk siswa yang mengalami kesulitan dalam atensi
belajar dengan memberi tempat duduk mereka dekat dari guru.
2. Hendaknya
para guru berupaya mencari jalan tengah diantara konsep belajar behavioral
dengan kognitivisme, dimana prinsip-prinsip inovatif dan rekayasa lingkungan
belajar, reward dan reinforcemen tetap dapat dikombinasikan dengan prinsip dan
Teori Medan dalam Gestalt.
DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald. 1995. Teori dan
Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung:PT. Eresco
Rosjidan. 1988.
Pengantar Teori-teori Konseling. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen DIKTI
Surya, Muhamad. 1988. Dasar-dasar Konseling
Pendidikan (Teori&Konsep). Yogyakarta :
Penerbit Kota Kembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar