BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Koneksionisme adalah teori belajar
yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia.Memandang individu sebagai
makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan
pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Ciri dari teori ini adalah
mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan
peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan
pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan
kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang
diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa
tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran (reward) penguatan dari
lingkungan.
Dengan demikian dalam tingkah laku
belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan
stimulusnya.Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku
siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil
belajar.
Seperti contohnya dalam teori ini
dilakukan percobaan pada binatang seekor kucing.Pada percobaan tersebut
menghasilkan teori trial and error (selecting and connecting). Yaitu bahwa belajar
itu terjadi dengan cara mencoba dan membuat salah. Dalam percobaan ini kucing
tersebut cenderung meninggalkan perbuatan X yang tidak mempunyai hasil.Setiap
respon menimbulkan stimulus yang baru. Selanjutnya stimulus baru itu akan
menimbulkan respon lagi
1.2
Rumusan Masalah
1. Apakah Teori Koneksionisme
itu?
2. Bagaimana Prinsip-Prinsip
Belajar Oleh Edward Lee Thorndik?
3. Bagaimana Hukum Teori
Koneksionisme?
4. Bagaimana Kelebihan dan
Kekurangan Teori Koneksionisme?
5. Bagaimana Aplikasi Teori
Koneksionisme Terhadap Pembelajaran Siswa?
1.3
Tujuan
1. Untuk Mengetahui Teori
Koneksionisme
2. Untuk Mengetahui
Prinsip-Prinsip Belajar Oleh Edward Lee Thorndik
3. Untuk Mengetahui Hukum
Teori Koneksionisme
4. Untuk Mengetahui Kelebihan
dan Kekurangan Teori Koneksionisme
5. Untuk Mengetahui Aplikasi
Teori Koneksionisme Terhadap Pembelajaran Siswa
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Teori Koneksionisme
Thorndike berprofesi
sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan Amerika.Lulus S1 dari
Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar
doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain
Educational Psychology (1903), Mental and social Measurements (1904), Animal
Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921),Your City (1939), dan Human
Nature and The Social Order (1940).
Menurut Thorndike, belajar
merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa
yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan
dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk
beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang
dimunculkan karena adanya perangsang.Dari eksperimen kucing lapar yang
dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan
antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang
tepat serta melalui usaha –usaha atau percobaanpercobaan (trials) dan
kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.Bentuk paling dasar dari belajar
adalah “trial and error learning atau selecting andconnecting learning” dan
berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.Olehkarena itu teori belajar yang
dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebutdengan teori belajar koneksionisme
atau teori asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi
sumbangan yang cukup besar di duniapendidikan tersebut maka ia dinobatkan
sebagai salah satu tokoh pelopordalam psikologi pendidikan.
Percobaan Thorndike yang
terkenal dengan binatang coba kucingyang telah dilaparkan dan diletakkan di
dalam sangkar yang tertutup danpintunya dapat dibuka secara otomatis apabila
kenop yang terletak di dalamsangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut
menghasilkan teori “trial anderror” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa
belajar itu terjadi dengancara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam
melaksanakan coba-cobaini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatanyang tidak mempunyai hasil. Setiap response menimbulkan
stimulus yangbaru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan response
lagi,demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:




Dalam percobaan tersebut
apabila di luar sangkar diletakkan makanan,maka kucing berusaha untuk
mencapainya dengan cara meloncat-loncatkian kemari. Dengan tidak tersengaja
kucing telah menyentuh kenop, makaterbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing
segera lari ke tempat makan.Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan
setelah kurang lebih 10sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja
menyentuh kenoptersebut apabila di luar diletakkan makanan.
2.2
Prinsip-Prinsip Belajar
Oleh Edward Lee Thorndik
Adapun Prinsip-Prinsip Belajar yang
Dikemukakan oleh Edward Lee Thorndik, yaitu :
1. Pada
saat seseorang berhadapan dengan situasi yang baru, berbagai respon yang ia
lakukan. Adapun respon-respon tiap-tiap individu berbeda-beda tidak sama
walaupun menghadapi situasi yang sama hingga akhirnya tiap individu mendapatkan
respon atau tindakan yang cocok dan memuaskan. Seperti contoh seseorang yang
sedang dihadapkan dengan problema keluarga maka seseorang pasti akan menghadapi
dengan respon yang berbeda-beda walaupun jenis situasinya sama, misalnya orang
tua dihadapkan dengan prilaku anak yang kurang wajar.
2. Dalam
diri setiap orang sebenarnya sudah tertanam potensi untuk mengadakan seleksi
terhadap unsur-unsur yang penting dan kurang penting, hingga akhirnya menemukan
respon yang tepat. Seperti orang yang dalam masa pekembangan dan menyongsong
masa depan maka sebenarnya dalam diri orang tersebut sudah menegetahui unsur
yang penting yang harus dilakukan demi mendapatkan hasil yang sesuai dengan
yang diinginkan.
3. Orang
cenderung memberikan respon yang sama terhadap situasi yang sama. Seperti
apabila seseorang dalam keadaan stress karena diputus oleh pacarnya dan ia
mengalami ini bukan hanya kali ini melainkan ia pernah mengalami kejadian yang
sama karena hal yang sama maka sudah barang tentu ia akan merespon situasi
tersebut seperti yang ia lakukan seperti dahulu yang ia lakukan.
2.3
Hukum Teori Koneksionisme
Dari percobaan
ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
1. Hukum Kesiapan (law of
readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan
tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan
kepuasanindividu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. Prinsip pertama teori
koneksionisme adalah belajar suatu kegiatanmembentuk asosiasi(connection)
antara kesan panca indera dengankecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa
senang atautertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan
cenderungmengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas
danbelajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.
Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika kecenderungan
bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak
akan melakukan tindakan lain. Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak,
tetapi ia tidak melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan
melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.Masalah
ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia
melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya,ia akan melakukan
tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
2. Hukum Latihan (law of
exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih (digunakan) ,
maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah
koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi
lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya
tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama
dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan
semakin dikuasai.
3. Hukum Akibat (law of
effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya
menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini
menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan.
Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan
lain kali akan diulangi. Sebaliknya,suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak
menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi. Koneksi antara kesan
panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah,
tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila
anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya,
ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.
Thorndike
berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan
yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada
binatang tanpa diperantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung
dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis(Suryobroto, 1984).Selanjutnya
Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:
a.
Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response).
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses trial dan
error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon
yang tepat dalam memecahkan masalahyang dihadapi.
b.
Hukum Sikap ( Set/ Attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya
ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan
keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif,emosi , sosial , maupun
psikomotornya.
c.
Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan
respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap
keseluruhan situasi (respon selektif).
d.
Hukum Respon by Analogy.
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi
yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan
situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami
sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke
situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
e.
Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting )
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke
situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan
sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyamapaian
teorinya thorndike mengemukakan revisi HukumBelajar antara lain :
1. Hukum latihan ditinggalkan
karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan
stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum
tentu diperlemah.
2. Hukum akibat direvisi.
Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah
laku adalah hadiah,sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
3. Syarat utama terjadinya
hubungan stimulus respon bukan kedekatan,tetapi adanya saling sesuai antara
stimulus dan respon.
4. Akibat suatu perbuatan
dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain. Teori koneksionisme
menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu kecakapan yang telah
diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain.
Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem
box-nya.
2.4
Kelebihan dan Kekurangan
Teori Koneksionisme
·
Kelebihan Teori
Koneksionisme
Dengan sering melakukan
pengulangan dalam memecahkan suatu permasalahan, anak didik akan memiliki
sebuah pengalaman yang berharga. Selain itu dengan adanya sistem pemberian
hadiah akan, membuat anak didik menjadi lebih memiliki kemauan dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapinya.
·
Kekurangan Teori
Koneksionisme
Kegiatan yang terlalu
sering dilakukan, akan membuat anak didik menjadi
merasa jenuh yang mungkin saja dapat mengakibatkan dia menjadi merasa
enggan untuk mencobanya lagi. Selain itu dengan adanya sistem
pemberian hadiah akan membuat sebuah ketergantungan pada anak didik
dalam melakukan sebuah kegiatan.
merasa jenuh yang mungkin saja dapat mengakibatkan dia menjadi merasa
enggan untuk mencobanya lagi. Selain itu dengan adanya sistem
pemberian hadiah akan membuat sebuah ketergantungan pada anak didik
dalam melakukan sebuah kegiatan.
2.5 Aplikasi
Teori Koneksionisme Terhadap Pembelajaran Siswa
Edward Lee Thorndike berpendapat,
cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan murid tahu apa yang telah
diajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak diajarkan. Dengan ini guru
harus mengerti materi apa yang hendak diajarkan, respon apa yang diharapkan dan
kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respons yang salah. Maka tujuan
pendidikan harus dirumuskan dengan jelas.
Tujuan pendidikan harus masih dalam
batas kemampuan belajar peserta didikan dan harus terbagi dalam unit-unit
sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacam-macam
situasi.Supaya peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus
bertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks.
Dalam belajar, motivasi tidak begitu
penting karena perilaku peserta didik terutama ditentukan oleh external rewards
dan bukan oleh intrinsic motivation.Yang lebih penting dari ini ialah adanya
respon yang benar terhadap stimulus.Bila peserta didikan melakukan respon yang
salah, harus segera diperbaiki, sebelum sempat diulang-ulang.Dengan demikian
ulangan yang teratur diperlukan sebagai kontrol bagi guru, untuk mengetahui
apakah peserta didik sudah melakukan respon yang benar atau belum terhadap
stimulus yang diberikan oleh guru.
Supaya guru mempunyai gambaran yang
jelas dan tidak keliru terhadap kemajuan anak, ulangan harus dilakukan dengan
mengingat hukum kesepian.Peserta didik yang sudah belajar dengan baik harus
segera diberi hadiah, dan bila belum baik harus segera diperbaiki.Situasi
belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam masyarakat
sebanyak mungkin, sehingga dapat terjadi transfer dari kelas ke lingkungan di
luar kelas.Materi pelajaran yang diberikan kepada peserta didik harus ada
manfaatnya untuk kehidupan anak kelak setelah keluar dari sekolah.
Dengan diberikannya
pelajaran-pelajaran yang sulit, yang melebihi kemampuan anak, tidak akan
meningkatkan kemampuan penalarannya. Sebagai
konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan
menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan
pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru
tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yng diikuti
contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran
disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Tujuan
pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu
ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur
dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan
digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang
diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu
perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif
dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau
penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
BAB III
KESIMPULAN
Koneksioisme merupakan suatu asosiasi
atas kesan panca indra dengan
impuls untuk bertindak, suatu hubungan dimana terjadi karena adanya suatu perbuatan bukan pengertian, yang sangat berpengaruh terhadap suatu respon terhadap sebuah stimulus, suatu hubungan dalam penelitian Thorndike bukan tepat pada hewan saja melainkan sangat cocok terhadap pelajar, yang menghubungkan serta menggabungkan beberapa respon dari
sebuah stimulus yang akhirnya timbulnya sebuah kesadaran.
impuls untuk bertindak, suatu hubungan dimana terjadi karena adanya suatu perbuatan bukan pengertian, yang sangat berpengaruh terhadap suatu respon terhadap sebuah stimulus, suatu hubungan dalam penelitian Thorndike bukan tepat pada hewan saja melainkan sangat cocok terhadap pelajar, yang menghubungkan serta menggabungkan beberapa respon dari
sebuah stimulus yang akhirnya timbulnya sebuah kesadaran.
Trial and error merupaka suatu usaha
yang positif dalam proses sebuah pembelajaran
yang berakhir dengan keberhasilan, apabila trial and error sudah tepat untuk dilakukan maka timbullah sebuah "respon yang tepat" maka hadiah, hukuman serta motivasi sangatlah berperan dalam stimulus dan respon. Suatu kesiapan, pelatihan serta pengaruh merupakan koneksionime
terhadap proses pembelajaran, dalam kesiapan tentunya ada kesiapan dantidak adanya kesiapan kalau segala sesuatu dipaksakan maka timbullah sesuatu yang sangat merugikan.
yang berakhir dengan keberhasilan, apabila trial and error sudah tepat untuk dilakukan maka timbullah sebuah "respon yang tepat" maka hadiah, hukuman serta motivasi sangatlah berperan dalam stimulus dan respon. Suatu kesiapan, pelatihan serta pengaruh merupakan koneksionime
terhadap proses pembelajaran, dalam kesiapan tentunya ada kesiapan dantidak adanya kesiapan kalau segala sesuatu dipaksakan maka timbullah sesuatu yang sangat merugikan.
DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin, Abdul Ghofur dkk. 1996 . Strategi Belajar Mengajar. CV Citra
Media : Surabaya.
Suryabrata, Sumadi . 1990 . Psikologi Pendidikan . Rajawali Pres : Jakarta.
Syah, Muhibbin . 1990 . Psikologi . Pt. logos Wacana Ilmu : Jakarta.
http://muna.staff.lainslatiga.ac.id/wpcontent/upload/side65/2014/09/teorikoneksionisme-rev.pdf
.( online). Di akses pada tanggal 30 Maret 2014.
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR.PEND..LUARSEKOLAH/197012101998022-IIPSARIPAH/TEORIPEMBELAJARAN.PDF.
( online ). Di akses pada tanggal 30 Maret 2014.
www.uny.ac.id/refleksigrup/sharefile/files.( online ).
Di akses pada tanggal 30 Maret 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar