BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Gagasan intervensi dini terhadap anak berkebutuhan khusus awalnya
dipelopori oleh Hunt (1961) dan Blomm (1964). Hunt menyatakan bahwa intelegensi
dapat ditingkatkan apabila anak mendapatkan pengalaman dalam lingkungan yang
terstruktur. Sedangkan Blomm menyimpulkan bahwa pengalaman anak yang diperoleh
dari lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan anak berikutnya,
terutama pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam masa awal perkembangan.
Intervensi dini sama-sama
bertujuan untuk mengoptimalkan perkembangan anak, namum pada hakekatnya
memiliki makna dan sasaran yang berbeda. Saat mengintervensi dini pada seorang
anak berkebutuhan khusus juga diberikan stimulus dengan focus kepada anak
dengan pertumbuhan dan perkembangan normal, dengan maksud agar anak mencapai
tingkat perkembangan yang baik dan optimal sesuai umur, sedangkan intervensi
kepada anak yang dengan pertumbuhan dan perkembangan yang menyimpang, mengalami
kelambatan, memiliki factor resiko, atau bagi anak-anak berkebutuhan khusus
dengan maksud untuk membantu mengatasi hambatan belajar yang dialaminya,
mencegah agar tidak bertambah berat, serta untuk menimalisir agar hambatan
tersebut tidak berdampak negative pada perkembangan selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimakasud dengan
perkembangan motorik ?
2.
Bagaimana hambatan dan intervensi
dini pada ABK?
C. Tujuan
1.
Mengetahui perkembangan motoric
pada ABK
2.
Mengetahui hambatan dan intervensi
dini pada ABK
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Perkembangan
Motorik
·
Elizabeth B Hurlock (1978: 159) menyatakan bahwa
perkembangan motorik diartikan sebagai perkembangan dari unsur kematangan pengendalian
gerak tubuh dan otak sebagai pusat gerak. Gerak ini secara jelas dibedakan
menjadi gerak kasar dan halus. Menurut Endang Rini Sukamti (2000:15) bahwa
perkembangan motorik adalah sesuatu proses kemasakan atau gerak yang langsung melibatkan
otot-otot untuk bergerak dan proses pensyarafan yang menjadi seseorang mampu
menggerakkan dan proses persyarafan yang menjadikanseseorang mampu menggerakkan
tubuhnya. Dari pendapat di atasdapat disimpulkan bahwa perkembangan motorik
merupakan perubahan keterampilan motorik dari lahir sampai umur lima tahun yang
melibatkanberbagai aspek perilaku dan keterampilan motorik. Keadaan lingkungan
sosial juga sangat berpengaruh pada peningkatan perkembangan motorik anak.
Perkembangan motorik juga berarti perkembangan gerak pengendalian jasmaniah
melalui kegiatan pusatsaraf, urat saraf dan otot-otot yang terkoordinasi
(Hurlock, 1991:150).
Ciri-ciri perkembangan motorik pada umumnya melalui empat
tahap, yaitu:
a. Gerakan-gerakan tidak disadari, tidak
disengaja dan tanpa arah.
b. Gerakan-gerakan anak itu tidak khas,
artinya gerakan yang timbul disebabkan oleh rangsangan yang tidak sesuai dengan
rangsangannya.
c. Gerakan-gerakan pada anak dilakukan
secara massal, yang artinyaseluruh tubuh ikut bergerak.
d. Gerakan-gerakan anak diikuti gerakan
lain yang sebenarnya tidakdiperlukan.
·
Perkembangan motorik diketahui adanya bentuk-bentuk
kemampuan motorik yang sama pada anak-anak, dalam kelompok umur yang
samamemperlihatkan hal yang sama juga. Prinsip – prinsip perkembangan
motorik(Bernadeta Suhartini), yaitu:
a. Perkembangan motorik tergantung pada
perkembangan saraf dan otak.
b. Belajar keterampilan tidak akan
sesuai sebelum anak mencapai siapdalam kematangan.
c. Perkembangan motorik anak akan
mengikuti pola perkembangannya.
d. Norma perkembangan motorik anak akan
dapat ditentukan.
e. Ada perbedaan secara individu dalam
standar perkembangan motorik.
Intervensi dini adalah tindakan atau
stimulasi awal kepada bayi yang mengalami berkebutuhan khusus. Tujuan
intervensi dini adalah mengurangi dampak berkebutuhan khusus yang terjadi atau dialami seorang anak,
sehingga anak balita penyandang disabilitas dapat tumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin sesuai tahapan usia.
Ada beberapa aspek dalam intervensi
dini anak dengan hambatan, yaitu: aspek medis, pendidikan, emosi/psikologis,
dan aspek social.
ü Peran
Penting Orang Tua
Kapan intervensi
dini pada bayi yang mengalami hambatan penglihatan dimulai, tergantung orang
tua, ayah dan ibunya. Jika orang tua yang dikaruniai bayi yang mengalami
hambatan penglihatan dapat segera menerima kondisi anaknya, pasti akan
menumbuhkan sikap positif. Jika sikap positif telah terbangun, orang tua akan
mencurahkan segala kemampuan untuk melakukan stimulasi-stimulasi agar bayi yang
mengalami hambatan penglihatan tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin.
Menerima kenyataan dan menumbuhkan
sikap positif pada kehadiran bayi berkebutuhan khusus tidak mudah. Sebagian
orangtua di fase awal hanya memusatkan perhatian pada tindakan medis. Mencoba
mencari kesembuhan ke mana saja. Hal ini dapat dimaklumi. Tapi jika orang tua hanya
fokus ke tindakan medis dan mengabaikan aspek lain, mereka akan kehilangan
“masa emas” anak balita mereka. Jika ini terjadi, yang jadi korban adalah si
anak.
Salah satu cara untuk menumbuhkan
sikap positif adalah mencari informasi dari sumber-sumber yang benar sebanyak
mungkin. Ketidaktahuan akan berakibat tumbuhnya sikap negatif. Bingung, tak
tahu apa yang harus dilakukan. Khawatir, apakah bayi berkebutuhan khusus bisa
menjadi orang yang berguna atau memiliki masa depan. Kondisi terburuk adalah
sikap apatis dan putus asa. Informasi yang benar akan memberikan pencerahan,
memberikan inspirasi, dan menjadi referensi.
2.2 Hambatan dan Intervensi Dini Pada Motorik Anak Berkebutuhan
Khusus.
1. Hambatan dan Intervensi Dini Pada Motorik Anak Tunanetra
·
Aspek medis adalah tindakan medis yang masih mungkin
dilakukan untuk mengurangi dampak berkebutuhan khusus. Misalnya operasi
pengangkatan katarak pada anak yang mengalami katarak karena faktor keturunan. Pada
beberapa jenis disabilitas, intervensi dini aspek medis ini juga dapat berupa
terapi fisik. Contohnya, latihan fisik pada anak tunanetra, sehingga fisik anak tunanetra tersebut tidak lemah.
·
Intervensi dini aspek pendidikan adalah
tindakan atau stimulasi yang dilakukan pada bayi yang mengalami berkebutuhan
khusus, agar dapat tumbuh kembang dengan baik dan kelak siap memasuki usia
sekolah. Contohnya, pada anak bayi yang mengalami tunanetra total perlu
stimulasi khusus, berupa sentuhan dan suara, agar belajar berinteraksi dengan
lingkungan. Stimulasi suara mendorong ia menggerakkan dan mengangkat kepala.
Sentuhan dan bantuan gerakan tertentu akan membantunya menggerakkan badan,
hingga kemudian dapat tengkurap, duduk, merangkak, dan berjalan. Stimulasi
indra perabaan juga diperlukan sebagai
persiapan belajar membaca dan menulis huruf Braille, berlatih mengenali
lingkungan, dan melakukan mobilitas. Agar anak balita disabilitas dapat
memiliki keterampilan melakukan aktivitas hidup sehari-hari, perlu diberikan
latihan bina diri. Misalnya mandi dan gosok gigi, mengenakan pakaian, makan,
mencuci tangan dan kaki, buang air, dan meletakkan benda-benda.
Jika intervensi
dini ini tidak dilakukan atau diabaikan, dapat menimbulkan berkebutuhan khusus
tambahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Pada anak yang mengalami hambatan
penglihatan sebenarnya tidak memiliki masalah dengan kakinya. Tetapi karena
kekhawatiran orang tua terhadap anak anak tersebut akan menimbulkan masalah
baru. Yang sebenarnya hanya memiliki hambatan penglihatan saja tetapi
kekhawatiran orang tua anak anak tersebut kemana mana selalu di gendong dan
dimanjakan yang berlebihan sehingga anak anak tersebut pada akhirnya tidak bisa
melakukan mobilitas sehingga anak tersebut akan mengalami, terlambat jalan,
tidak dapat mandiri dan akan terjadi terlambat sekolah.
2. Hambatan dan Intervensi Dini Pada Motorik Anak Tunarungu
Perkembangn fisik atau motorik anak tuna rungu tidak begitu
jauh berbeda degan perkembangan anak pada umumnya. Bahkan jarang anak tuna
rungu baru dapat di kenali ketika di ajak hicara bicara atau berkomunikasi,
tetapi terkadang di temui kepada beberapa anak tuna rungu yang letak gangguan
pendengarannya pda telinga bagian dalam (auris internl) mengenai bagian organ
keseimbangan (semicircular canalas) yang pada gilirannya juga dapat mempengaruhi
nerfes cochlearis (saraf keseimbangan) yang menyebabkan anak jika berjalan
seperti terhuyung huyung (akan jatuh) anak kurang memiliki keseimbang yang
baik. Tetapi selain dari pada itu, jika anbak murni mengalami ketunarunguan
maka perkembangan fisiknya tidak banyak mengalami hambatan , kecuali ia
mengalami ketunaan penyert (double handicapped)
·
Tidak tertinggal dari anak normal
dalam perkembangan kematangan bidang motorik seperti unsur waktu duduk,
berjalan dan lainnya.
·
Tidak tertinggal dalam bidang ketrampilan
atau menggunakan kecakapan tangan.
- Berprestasi di bawah normal pada umumnya dalam
segi koordinasi lokomotorik, yaitu kemampuan untuk mempertahankan
keseimbangan dan bergerak. Hal tersebut dapat terjadi apabila kerusakan
terdapat pada alat keseimbangan atau daerah kanalis semikirkulair.
Kecepatan motorik terutama yang bersifat komplek dalam melaksanakan suatu
perbuatan karena anak tunarungu mengalami kesukaran tentang konsep itu.
Gerakan simulltan yaitu kemampuan menggunakan salah satu komponen motorik
misalnya tangan sedangkan komponen lainnya misalnya kaki digunakan untuk
gerakan yang berbeda.
Model
Pembelajaran Motorik Berbasis Permainan
Pembelajaran anak Tunarungu di SLB
khususnya pembelajaran pendidikan jasmani, siswa terlihat kurang bersemangat.
Dalam pembelajaran itu guru hanya monoton, sehingga siswa kurang aktif.
Sehingga dengan adanya model pembelajaran motorik berbasis permainan maka
diharapkan siswa akan aktif, sehingga model pembelajaran itu sangat diperlukan
siswa SLB khususnya anak Tunarungu.
Pada anak normal perkembangan motorik
sangat dipengaruhi oleh bertambahnya usia anak. Motorik itu sendiri terdiri
dari motorik kasar dan halus, motorik kasar adalah kemampuan anak dalam
melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan
oleh otot-otot besar yang merupakan area terbesar pada masa perkembangan,
diawali dengan kemampuan berjalan, kemudian lari, lompat dan lempar. Motorik
halus adalah kemampuan anak dalam melakukan gerakan yang melibatkan
bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapi
memerlukan koordinasi yang cermat seperti mengamati sesuatu, menjimpit,
menulis.
3.
Hambatan dan Intervensi
Dini Pada Motorik Anak Tunagrahita
Anak tunagrahita memiliki
kemampuan motorik lebih rendah dibandingkan anak sebaya. Baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hal
ini ditunjukkan dengan kurang mampunya melakukan aktivitas motorik untuk
tugas-tugas yang memerlukan ketepatan gerak maupun melakukan reaksi gerak yang
memerlukan koordinasi motorik dan keterampilan gerak yang lebih kompleks.
Sering kali ditemui bahwa pada anak tunagrahita mengalami hambatan pada motorik
kasar seperti berjalan, melompat, berlari, dan gerak lainnya. Juga dalam
motorik halus seperti menangkap boladan sebagainya. Kondisi ini disebabkan adanya
gangguan pada otak sebagai pusat motorik akibat dari gangguan pada pusat
persepsi yang berhubungan dengan mental dan inteligensi.
Berikut ini beberapa model
permainan yang menekankan pada pengembangan kecerdasan dan motorik halus anak
tunagrahita, yang bersifat individual:
1. Latihan
menuangkan air
Menuang air memang bukan suatu pekerjaan yang
mudah bagi anak tunagrahita, apalagi kalau diharuskan tidak boleh ada tetesan
air di sekitarnya. Pertama-tama anak diberi latihan menuang air dengan jumlah
sedikit melalui contoh yang diberikan. Semakin teratur dan tanpa tetesan dalam
menuangkan air, maka semakin baik kemampuannya.
2. Bermain
pasir
Selain dengan air, latihan menuang dapat pula
dengan pasir kering. Botol dan panci sebagai tempat menuang pasir, dan pasir
yang telah dituang ke botol dan panci tersebut dapat dituang kembali ke ember.
Bermain pasir ini dapat pula menggunakan pasir basah. Dengan menggunakan pasir
basah, anak tunagrahita diajak berkhayal untuk mencetak benda-benda yang
diinginkan, seperti kue, bangunan gedung, gunung, dan lain sebagainya.
3. Bermain
tanah liat
Pertama kali anak tunagrahita bermain dengan
tanah liat, barangkali kegiatan yang dilakukan hanya mengepal-ngepal saja.
Namun apabila mereka diberikan bimbingan dan latihan, kegiatan tersebut dapat
diarahkan membentuk benda-benda di sekitarnya, seperti boneka, asbak, atau yang
lainnya. Setelah hasil pekerjaan anak tersebut selesai dan dikeringkan, dapat
dicat dengan berbagai warna agar menarik perhatiannya dan timbul motivasi untuk
berbuat lagi yang lebih baik.
4. Meronce
manik-manik
Pertama kali yang perlu diajarkan dalam
kegiatan meronce, yaitu meronce manik-manik yang besar, kemudian dilanjutkan
dengan yang kecil dengan menggunakan benang atau kawat halus. Setelah anak
tertarik dengan kegiatan tersebut, dilanjutkan dengan pemilihan dan kombinasi
warna manik-manik yang dironce.
5. Latihan
melipat
Untuk anak normal melipat bukan hal yang sulit,
namun bagi anak tunagrahita melipat perlu diajarkan tersendiri sebab merupakan
latihan yang tidak mudah. Latihan ini diawali dengan dua lipatan, empat
lipatan, dan seterusnya dengan berbagai kombinasi sesuai batas kemampuan anak.
6. Mengelem
dan menempel
Pertama-tama yang perlu diajarkan dalam latihan
mengelem dan menempel ini, yaitu dengan menggunakan telunjuk jari untuk
mengelem dan mengulasnya agar tidak terjadi kecerobohan. Untuk dapat lebih
melekat, taruhlah secarik kertas atau kain di atasnya dan tekan. Apabila anak
mampu mengerjakan dengan baik dan rapi, berilah pujian sebagai tanda
penghargaan jerih payahnya.
7. Menggunting
dan memotong
Latihan menggunting ini mengguanakan koran
bekas, dapat diawali dengan menggunting bentuk sembarang, kemudian menggunting
dengan cara yang lurus dan dilanjutkan dengan menggunting dengan garis-garis
melengkung, yang akhirnya menggunting gambar-gambar dalam majalah atau koran.
8. Latihan
menyobek
Untuk latihan ini anak harus menggunakan kedua
tangannya, dimulai menyobek menjadi bagian-bagian besar hingga bagian yang
sekecil-kecilnya. Hasil sobekan kertas kecil-kecil tersebut selanjutnya dapat
dipergunakan untuk membuat rumah, pohon, gunung, dan lain-lain, dengan cara
menempelkan di kertas yang masih utuh.
9. Jarum
dan benang
Latihan jarum dan benang ini tidak hanya
ditujukan bagi anak tunagrahita perempuan saja, tapi perlu juga diberikan pada
anak laki-laki. Untuk kepentingan tersebut, dibutuhkan semacam alat bordir yang
mula-mula harus ditusuk-tusukkan. Selanjutnya anak dapat dilatih menggunakan
kain strimin yang kasar atau kain wol yang tebal dan sederhana. Dengan menggunakan
jarum dan benang, anak tunagrahita dapat membuat hiasan dinding, alas baki,
tas, dan sebagainya.
Intervensi Dini Pada Motorik Anak Tunagrahita
Dalam perkembangan motorik
anak tunagrahita berbeda dengan anak normal. Berikut adalah tabel indikator
perkembangan motorik anak normal. Dengan adanya indicator ini maka kita akan
dengan mudah untuk menemukan kelainan atau hambatan apa yang dimiliki oleh anak
tunagrahita.
Tahap perkembangan motorik
No
|
Umur
|
Perkembangan
anak normal
|
1.
|
1
tahun
|
Berusaha tegak dengan berlutut, berjalan dengan
berpegang sebelah tangan, merangkak bebas,menggenggam dan meletakkan benda.
|
2.
|
2
tahun
|
Sudah
bisa berjalan, berlari,melompat, membolak-balik halaman buku, menjodohkan
warna, gambar, bentuk dan balok
|
3.
|
2,5
tahun
|
Berjalan
dengan ujung jari kaki, melommpat dengan dua kaki bersama-sama, berjalan
mengikuti garis yang dibuat pada lantai
|
4.
|
3
tahun
|
Berlari dengan jari kaki, mengendarai sepeda roda tiga,
berdiri dengan satu kaki, berjalan mundur dengan mudah, memutar-mutar pergelangan
tangan
|
5.
|
3.5
tahun
|
Berlari menghindar halangan/rintangan, berjalan pada
balok keseimbangan dengan 2 langkah berganti-ganti
|
6.
|
4
tahun
|
Melompat diatas benda setinggi 15 cm, menangkap bola
yang dilemparkan, memegang sikat dengan posisi benar.
|
7.
|
5
tahun
|
Melompat
dari sesuatu dengan ketinggian 30 cm, berlari naik kursi dan meja, berjalan
mengikuti garis pada lantai dengan kaki dan tumit
|
4.
Hambatan dan Intervensi
Dini Pada Motorik Anak Tunadaksa
Anak
tunadaksa seperti anak lainnya memiliki tahap – tahap perkembangan yang
berlanjut terus. Didalam proses perkembangannya tersebut ada hambatan –
hambatan yang terjadi. Hambatan tersebut dapat mempengaruhi aspek – aspek
perkembangan anak dan salah satu akibat dari terhambatnya perkembangan tersebut
yaitu kecacatan pada fisik yang mengakibatkan terhambatnya mobilitas gerak.
Anak CP mengalami kerusakan pada
pyramidal tract dan atau extrapyramidal. Kedua system tersebut berfungsi
mengatur system motoric manusia, oleh karenanya anak CP mengalami gangguan
fungsi motoriknya. Seluruh gerakan otot anak cerebral palsy juga bekerja secara
kelompok dan membuat pola – pola gerak, tetapi pola – pola itu tidak normal dan
tidak ada koordinasi yang disebabkan oleh adanya kerusakan dalam otak. Mereka
tidak dapat melakukan pola gerakan yang benar, gerakannya dilakukan dengan
salah. Anak cerebral palsy dan juga anak – anak normal, mereka belajar gerak
dengan perasaannya dan mencobanya dengan mengingat – ingat yang pernah
dilakukannya.
Anak normal memiliki kemampuan
menyesuaikan gerakan dengan tujuan yang dimaksutkan, sedangkan anak cerebral
palsy gerakannya terbatas. Gerakannya monoton da nasal gerak, yang penting dapat
melakukan gerakan. Jika anak mulai dengan pola gerakan yang salah, maka ia akan
meneruskannya dan mengabaikan gerakan yang salah tersebut. Hal ini dapat
menghambat perkembangan fisik yang normal dan kesalahan gerakan yang berulang –
ulang akan menimbulkan kekakuan sendi dan salah bentuk.
Pengontrolan seluruh gerakan tubuh
terdapat pada otak. Bentuk gerakan yang sempurna terjadi melalui kerjasama
antara mata, telinga, kulit, otot, dan sendi. Jika hal ini terjadi pada anak
cerebral palsy, maka perkembangannya akan terganggu atau terhambat. Kerusakan
sebagian otaknya dapat mempunyai pengaruh yang berbeda. Dalam beberapa kasus
kerusakan tangan akan mempengaruhi kakinya atau sebaliknya.
Perbandingan Perkembangan Motoric Kasar
Anak Normal Dan Anak CP
UMUR
|
PERKEMBANAGAN ANAK NORMAL
|
PERKEMBANAGAN ANAK CP
|
3 Bulan
|
-Tengkurap, Kepala diangkat, menyangga pada
tangan
-Telentang; kedua tangan disatukan
|
-Tungkai kaku
-kepala tidak dapat diangkat
-lengan tidak menyangga
-melenting kebelakang, kepala miring ke satu
sisi
-satu lengan dan tungkai menekuk yang lain
lurus
-tidak bisa menyatukan tangan
-tidak dapat mengangkat kepalaa
|
6 Bulan
|
-Duduk disangga tangan; bobot bertumpupada
kaki jika dibantu berdiri.
|
-badan membungkuk
-lengan kaku, tangan mengepal
-jika ditarik untuk duduk, kepala tertahan
atau jatuh kebelakang
-berdiri berjinjit
-lengan ditarik kebelakanag
-tungkai kaku dan menyilang seperti gunting
|
12 Bulan
|
-Mencoba berdiri berpegangan pada sesuatu,
merangkak dengan baik.
|
-Kesulitan menarik tubuhnya untuk berdiri.
-tungkai kaku, jari kai lurus
-tidak dapat merangkak
-hanya menggunaka sebelah badannuya atau
menyeret diri menggunakan tangan
-satu tangan kaku dan bengkok
|
18 Bulan
|
-berdiri dan berjalan sendiri; bergerak untuk
duduk dan beranjak; duduk dengan tegak, menggunakan kedua tangan
|
-jalan berjinjit sebeklah
-keseimbanagan berdiri yang buruk
-sering menggunakan sebelah tangan untuk
bermain
-mungkin satu tungkai kaku
-duduk dengan bertumpu pada satu sisi
|
5. Hambatan dan Intervensi Dini Pada Motorik Anak Berkesulitan
Belajar
Anak
normal pada umumnya selalu menunjukkan reaksi yang spontan dan cepat dalam
merespon rangsangan yang ditemui. Akan tetapi spontanitas dan kecepatan
mereaksi seperti itu tidak terjadi pada anak berkesulitan belajar. Menurut
Hammil dan Myers (1976) terdapat empat gangguan motorik yang selalu ditekankan
dalam hubungannya dengan anak berkesulitan belajar, yaitu hiperaktivitas,
hipoaktivitas, inkoordinasi, dan perseverasi.
Gejala
hiperaktivitas, biasanya ditandai dengan secara konstan sibuk bergerak, tidak
mampu duduk dalam jangka waktu yang pendek tanpa menggerakkan kaki, memainkan
benda yang dipegang, atau memutar – mutar kursi, cenderung untuk berbicara atau
mengobrol terus, dan sering kurang memperhatikan. Perilaku hiperaktif ini juga
sering menunjukkan adanya hubungan dengan gangguan otak, penyimpangan tingkah
laku, dan perilaku adaptif lain. Gejala hipoaktivitas ditunjukkan dengan
aktivitas motoric yang lamban, kurang memberikan reaksi, malas, dan lesu.
Gejala inkoordinasi ini ditandai dengan munculnya gejala kejanggalan atau
kekakuan fisik dan atau kemiskinan integrasi motoric. Misalnya : (1) kemiskinan
dalam aktivitas yang memerlukan koordinasi motoric tingkat tinggi, seperti
berlari, menangkap, meloncat, dan melompat, (2) berjalannya kaku, dalam kasus
yang ekstrim kaki dan tangan dapat bergerak dalam suatu homolateral (bersama –
sama), (3) memiliki pola aktivitas dibawah rata – rata seperti dalam menulis,
menggambar, atau tugas – tugas yang memerlukan integrasi motoric yang baik, (4)
kurang memiliki keseimbangan badan, seperti sering jatuh, tersandung, dan
canggung. Sedangkan perseverasi adalah kecenderungan untuk berperilaku secara
otomatis dan sering tanpa sengaja di lanjutkan. Perikalu ini dapat diobservasi
dalam hamper keseluruhan perilaku ekspresif, seperti bicara, menulis, membaca, menggambar,
dan menunjuk.
Anak
berkesulitan belajar dapat mengalami satu atau lebih gangguan proses psikologis
dasar (terutama persepsi dan konsentrasi) dan motorik (terutama problem
vestibule proprioseption), motoric halus, dispraksia, sensori integrasi koordinasi
mata tangan dan lateralisasi). Gangguan – gangguan tersebut secara nyata dapat
muncul sendiri – sendiri, bersamaan, atau sebagai rangkaian sebab akibat.
Misalnya, adanya problem vestibule proprioception (kemampuan yang terkait
dengan menjaga posisi atau keseimbangan tubuh) menjadikan keterbatasan dalam
menjaga vertikalisasi tubuhnya, sehingga menjadikan anak tidak bisa diam
sehingga mengganggu kemampuan ruang pandangnya, dan akhirnya secara langsung
berdampak kepada keakuratannya dalam mengidentifikasi, membedakan, dan
menginterpretsikan obyek yang dilihat atau dibaca, dan secara tidak langsung
berpengaruh terhadap kemampuan persepsi, konsentrasi, maupun ingatannya.
6.
Hambatan dan Intervensi
Dini Pada Motorik Anak Autis
Intervensi terhadap anak autis berarti adalah upaya mengubah kehidupan
anak autis untuk mengurangi gejala perilaku yang mempengaruhi fungsi
perkem-bangan anak secara negatif dan mendorong fungsi perkembangan anak
seperti mengembangkan kemam-puan berbahasa, tingkah laku, penyesuaian diri,
sosiali-sasi dan ketrampilan bina diri.
Anak autis seringkali
mendemonstrasikan pola perilaku yang khas dan tidak biasa, seperti asyik
sendiri dengan sebuah benda atau bagian dari benda, atau ketertarikan yang
intens terhadap topik tertentu. Anak akan terlibat pada gerakan-gerakan motorik
yang repetitif yang pada bentuk yang paling umum dimanifestasikan dengan
menjentikkan jari, menepukkan tangan, tatapan mata yang tidak biasa, kebiasan
berjalan dengan berjinjit dan/atau dengan berputar.
Telah mejadi hal yang umum
bahwa perilaku-perilaku tersebut akan menjadi pengganggu dalam proses
pendidikan anak. Perilaku repetitif ini juga dapat berdampak pada performansi
sosial anak. Sebagai contoh, cakupan ketertarikan yang sempit dapat mendominasi
percakapan, dan percakapan akan menjadi hanya satu arah.Intervensi dini untuk
hambatan motoric pada anak autis dapat dilakukan dengan beberapa terapi seperti
terapi pengembangan perilaku dan terapi okupasi.
1.
Pengembangan perilaku.
Pengembangan perilaku pada
anak autis juga perlu mendasarkan pada potensi yang dimiliki. Potensi merupakan
kemampuan atau kekuatan atau daya, dimana potensi dapat merupakan bawaan
(bakat) dan hasil dari stimulus atau latihan dalam perkembangan anak.Potensi
anak akan tumbuh seiring perkembangan anak. Pada anak autis, penggalian potensi
tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat.Dalam mengembangkan potensi anak,
perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.
Setiap anak memiliki bakat; anak dengan
kebutuhan khusus termasuk anak autis juga mempunyai kemampuan spesial.
b.
Bakat harus dikembangkan melalui latihan
dan rangsangan secara terus-menerus.
c.
Stimulasi sejak usia dini melalui
kegiatan yang menyenangkan (bermain).
d.
Orang tua turut andil dalam mengenali
& mengembangkan bakat anak
e.
Kembangkan bakat sesuai dengan minat dan
kebutuhan anak
Kecerdasan tidak hanya selalu berkaitan dengan
IQ/kepintaran dalam menghitung, menghafal. Kecerdasan bisa saja berkaitan
dengan gerak tubuh. Anak autis juga memiliki kecerdasan gerak tubuh, seperti:
1)
Keterampilan motorik halus dan kasar
yang baik
2)
Senang bergerak (berjalan, berlari,
melompat, menari, dll)
3)
Suka menyentuh sesuatu (eksplorasi
melalui sentuhan/perabaan dan otot-otot)
4)
Suka memperbaiki atau membongkar sesuatu
5)
Sering menggunakan atau menggerakkan
anggota tubuhnya ketika berbicara
Untuk mengembangankan kecerdasan gerak tubuh diperlukan adanya stimulasi
sebagai berikut:
1)
Menari
2)
bermain gesture (gerak tubuh dan
tangan)
3)
Berbagai olah raga sesuai usia dan
perkembangan motorik anak
2. Terapi Okupasi
Terapi Okupasi adalah bentuk layanan kesehatan kepada individu
yang mengalami gangguan fisik dan atau mental dengan menggunakan aktivitas
bermakna (okupasi) untuk meningkatkan kemandirian individu pada area aktivitas
kehidupan sehari-hari, produktivitas dan pemanfaatan waktu luang dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Aktifitas yang dimaksud seperti menulis, keterampilan tangan, belakar di kelas, bersosialisai,
berpakaian, rawat diri, bermain, memanjat. berayun, melompat, mengemukakan ide,
menyusun tugas, dan sebagainya. Untuk melakukan okupasional tersebut
diperlukan koordinasi gerak, atensi dan konsentrasi, kekuatan, otot,
keseimbangan. kemampuan berinteraksi sesial, reflex, kendali diri, dan
sebagainya.
Tujuan utama dari terapi okupasi adalah
memungkinkan individu untuk berperan serta dalam aktivitas keseharian. Dalam
konteks terapi bagi anak autis, Jarrow (2010) mengungkapkan bahwa terapi
okupasi sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan motorik kasar dan halus,
kontrol postural, pola pergerakan, perencanaan gerakan, koordinasi gerakan,
keterampilan visuo-spasial dalam berpartisipasi pada aktivitas keseharian.
Dalam memberikan pelayanan kepada
individu, terapis okupasi memerhatikan aset (kemampuan) dan limitasi
(keterbatasan) yang dimiliki individu, dengan memberikan aktivitas yang purposeful
(bertujuan) dan meaningful (bermakna). Dengan demikian diharapkan
individu tersebut dapat mencapai kemandirian dalam aktivitas produktivitas
(pekerjaan/pendidikan), kemampuan perawatan diri (self care), dan
kemampuan penggunaan waktu luang (leisure). Pelaksanaan terapi okupasi dapat
dilakukan dengan:
- Aktivitas motorik kasar,
misalnya permainan merangkak, menirukan jalan kepiting, dsb
- Aktivitas motorik halus,
misalnya menyendok makanan, mengancingkan baju, meronce, dsb
- Sensori integrasi Snozelen
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Perkembangan motorik merupakan
perubahan keterampilan motorik dari lahir sampai umur lima tahun yang
melibatkanberbagai aspek perilaku dan keterampilan motorik. Keadaan lingkungan
sosial juga sangat berpengaruh pada peningkatan perkembangan motorik anak.
Perkembangan motorik juga berarti perkembangan gerak pengendalian jasmaniah
melalui kegiatan pusatsaraf, urat saraf dan otot-otot yang terkoordinasi
Daftar Pustaka
·
Efendi, Mohammad. 2006. Pengantar
Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara
·
Amin, Moh. 1995. Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Bandung :Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
·
Sunardi, 2007.Intervensi Dini Anak Berkebutuhan khusus.Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Terima kasih
BalasHapusReferensinya sangat bermanfaat