Minggu, 07 Februari 2016

undang undang dasar sementara 1950


ISI

A.    Latar Belakang
Pada periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950.
situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sistematika UUDS 1950 ?
2.      Bagaimana sistem pemerintahan pada masa UUDS 1950 ?
3.       Faktor apa saja yang menyebabkan seringnya terjadi pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal ?

C.     Pembahasan
1.  Sistematika UUDS 1950
UUDS 1950 merupakan undang-undang sementara setelah sebelumnya terdapat UUD RIS, atau UUDS 1950 merupakan undang-undang transisi masa peralihan dari UUD RIS menuju pemberlakuan kembali UUD 1945. Sistematika UUDS 1950, adalah sebagai berikut: a. Mukaddimah,terdiri dari empat alinea ( berbeda rumusannya, baik dengan UUD 1945 maupun Konstitusi RIS 1949, serta rumusan dasar Negara terdapat dalam alinea IV dengan rumusan yang berbeda dengan UUD 1945 ). b. Batang Tubuh, terdiri dari enam bab, dan 146 pasal. Dalam UUDS 1950 tidak terdapat bagian penjelasan. Dalam mukaddimah UUDS 1950 teradapat rumusan dan sistematika dasar Negara Pancasila yang sama dengan yang tercantum dalam konstitusi RIS, yaitu:
A.    Ketuhanan Yang Maha Esa;
B.     Peri Kemanusiaan;
C.     Kebangsaan;
D.    Kerakyatan;
E.     Keadilan Sosial

2. Sistem Pemerintahan
Berdasarkan UUDS 1950, sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem pemerintahan parlementer yang semu ( quasi parlementer ). Sistem pemerintahan tersebut mirip sengan sistem pemerintahan Konstitusi RIS 1949. Dalam praktik penyelenggaraan sistem pemerintahan, terdapat alat-alat kelengkapan negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 44 UUDS 1950 sebagai berikut : 1. Presiden dan wakil presiden. 2. Menteri-menteri. 3. Dewan Perwakilan Rakyat. 4. Mahkamah Agung. 5. Dewan Pengawas Keuangan. Berdasarkan UUDS 1950, sistem pemerintahan seharusnya bersumber pada demokrasi Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUDS 1950. Namun, dalam pelaksanaanya, demokrasi yang dipraktikan adalah demokrasi liberal, karena berlaku sistem multipartai. Apalagi setelah hasil pemilu tahun 1955, tidak ada satupun partai yang menang dan mendapat kursi mayoritas ( 51% ) di parlemen, sehingga pemerintahan mengalami ketidakstabilan politik. Hal ini dapat terlihat dengan sering jatuhnya kabinr dalam periode ini, yaitu dalam kurun waktu tahun 1950 s/d 1959.
Berikut kabinet-kabinet yang pernah ada pada waktu itu. 1. Kabinet Natsir ( 6 September 1950 – 27 April 1951 ) Kabinet Natsir merupakan suatu Zaken Kabinet, intinya adalah Partai Masyumi. Kabinet ini menyerahkan mandatnya tanggal 21 Maret 1951, setelah adanya mosi yang menuntut pembekuan dan pembubaran DPRD Sementara. Penyebab lainnya adalah seringnya mengeluarkan Undang Undang Darurat yang mendapat kritikan dari partai oposisi. 2. Kabinet Sukiman ( 27 April 1951- 3 April 1952 ) Kabinet Sukiman merupakan koalisi antara Masyumi dengan PNI. Pada masa Kabinet Sukiman muncul berbagai gangguan keamanan, misalnya DI/TII semakin meluas dan Republik Maluku Selatan. Kabinet ini jatuh karena kebijakan politik luar negerinya diangap condong ke Serikat. Pada tanggal 15 Januari 1952 diadakan penandatanganan Mutual Security Act (MSA). Perjanjian ini berisi kerja sama keamananan dan Serikat akan memberikan bantuan ekonomi dan militer. 3. Kabinet Wilopo ( 3 April 1952 – 30 Juli 1953 ) Kabinet Wilopo didukung oleh PNI, Masyumi, dan PSI. Prioritas utama program kerjanya adalah peningkatan kesejahteraan umum. Peristiwa penting yang terjadi semasa pemerintahannya adalah peristiwa 17 Oktober 1952 dan peristiwa Tanjung Morawa. Peristiwa 17 Oktober 1952, yaitu tuntutan rakyat yang didukung oleh Angkatan Darat yang dipimpin Nasution, agar DPR Sementara dibubarkan diganti dengan parlemen baru. Sedang Peristiwa Tanjung Morawa (Sumatra Timur) mencakup persoalan perkebunan asing di Tanjung Morawa yang diperebutkan dengan rakyat yang mengakibatkan beberapa petani tewas. 4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I ( 30 Juli 1953-12 Agustus 1955 ) Kabinet ini dikenal dengan Kabinet Ali Wongso (Ali Sastroamijoyo dan Wongsonegoro). Prestasi yang dicapai adalah terlaksananya Konferensi di Bandung 18-24 April 1955. 5. Kabinet Burhanudin Harahap ( 12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956 ) Kabinet ini dipimpin oleh Burhanudin Harahap dengan inti Masyumi. Keberhasilan yang diraih adalah menyelenggarakan pemilu pertama tahun 1955. Karena terjadi mutasi di beberapa kementerian, maka pada tanggal 3 Maret 1956 Burhanudin Harahap menyerahkan mandatnya. 6. Kabinet Ali Sastroamijoyo II ( 24 Maret 1956 – 9 April 1957 ) Program Kabinet Ali II disebut Rencana Lima Tahun. Program ini memuat masalah jangka panjang, misalnya perjuangan mengembalikan Irian Barat. Muncul semangat anti- Cina dan kekacauan di daerah-daerah sehingga menyebabkan kabinet goyah. Akhirnya pada Maret 1957, Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya. 7. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957 – 10 Juli 1959 ) Kabinet Djuanda sering dikatakan sebagai Zaken Kabinet, karena para menterinya merupakan ahli dan pakar di bidangnya masing-masing. Tugas Kabinet Djuanda melanjutkan perjuangan membebaskan Irian Barat dan menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang buruk. Prestasi yang diraih adalah berhasil menetapkan lebar wilayah Indonesia menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar yang menghubungkan titik-titik terluar dari Pulau Indonesia. Ketetapan ini dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Kabinet ini menjadi demisioner ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

3. Faktor Penyebab Pergantian kabinet
Pada tahun 1950, setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari: 1. Masyumi (49 kursi). 2. PNI (36 kursi), 3. PSI (17 kursi). 4. PKI (13 kursi) 5. Partai Katholik (9 kursi). 6. Partai Kristen (5 kursi), dan 7. Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi. Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan. Selama kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Soekarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit. Kabinet Koalisi yang diharapkan dapat memperkuat posisi kabinet dan dapat didukung penuh oleh partai-partai di parlemen ternyata tidak mengurangi panasnya persaingan perebutan kekuasaan antar elite politik. Semenjak kabinet Natsir, para formatur berusaha untuk melakukan koalisi dengan partai besar. Dalam hal ini, Masjumi dan PNI. Mereka sadar betul bahwa sistem kabinet parlementer sangat bergantung pada basis dukungan di parlemen. Penyebab kabinet mengalami jatuh bangun pada masa demokrasi liberal adalah akibat kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sementara keberlangsungan pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di parlemen. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950. Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Namun tidaklah serta merta bahwa setalah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Demokrasi Terpimpin dilaksanakan karena telah disebutkan di atas bahwa Demokrasi Liberal berakhir pada tanggal 10 Juli 1959. Latar Belakang dikeluarkan dekrit Presiden : 1. Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. 2. Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap. 3. Situasi politik yang kacau dan semakin buruk. 4. Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme. 5. Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional 6. Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk 7. Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara. Reaksi dengan adanya Dekrit Presiden: 1. Rakyat menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas politik yang telah goyah selama masa Liberal. 2. Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit Presiden. 3. KSAD meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan Dekrit Presiden. 4. DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk melaksanakan UUD 1945. Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut: 1. Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan. 2. Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara. 3. Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya. Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut: 1. Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 1945 yang harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka. 2. Memberi kekuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru. 3. Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang. F. Komentar Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer 1. Kelebihan :
a. Pembuatan kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah  terjadi  penyesuaian  pendapat antara eksekutif dan legislatif.
b. Garis tanggung jawab dalam  pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
c.Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen

D. Kesimpulan
UUDS 1950 merupakan undang-undang transisi masa peralihan dari UUD RIS menuju pemberlakuan kembali UUD 1945. Dalam pelaksanaanya, demokrasi yang dipraktikan adalah demokrasi liberal, karena berlaku sistem multipartai. Apalagi setelah hasil pemilu tahun 1955, tidak ada satupun partai yang menang dan mendapat kursi mayoritas ( 51% ) di parlemen, sehingga pemerintahan mengalami ketidakstabilan politik. Selama kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh.



DAFTAR PUSTAKA

Parjono, dkk. 2013. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Surabaya : Unesa University Press.
http://UUDS1950 _ Husainnur's Blog.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar